Rabu, 14 Mei 2014

Tata Pentas

Oleh: Heru Subagiyo, S.Sn.
Materi tata panggung ini digunakan untuk pembelajaran tingkat SMP
TKP : Setelah membaca dan mengerjakan tugas-tugas modul ini diharapkan Peserta belajar dapat:
1. Menjelaskan kembali panggung dan tata pentas
2. Menyebutkan macam-macam panggung
3. Mengetahui syarat-syarat dan tujuan perancangan tata pentas.
4. Merancang pentas secara sederhana.
URAIAN MATERI
1. Pengetahuan Tata Pentas
Tata pentas bisa disebut juga dengan scenery atau pemandangan latar belakang (Background) tempat memainkan lakon. Tata pentas dalam pengertian luas adalah suasana seputar gerak laku di atas pentas dan semua elemen-elemen visual atau yang terlihat oleh mata yang mengitari pemeran dalam pementasan. Tata pentas dalam pengertian teknik terbatas yaitu benda yang membentuk suatu latar belakang fisik dan memberi batas lingkungan gerak laku. Dengan mengacu pada definisi di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa tata pentas adalah semua latar belakang dan benda-benda yang ada dipanggung guna menunjang seorang pemeran memainkan lakon.
Sebelum memahami lebih jauh tentang tata pentas, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud pentas itu sendiri. Pentas menurut Pramana Padmodarmaya ialah tempat pertunjukan dengan pertunjukan kesenian yang menggunakan manusia (pemeran) sebagai media utama. Dalam hal ini misalnya pertunjukan tari , teater tradisional ( ketoprak, ludruk, lenong, longser, randai makyong, mendu, mamanda, arja dan lain sebagainya), sandiwara atau drama nontradisi baik sandiwara baru maupun teater kontemporer. Webster mendefinisikan pentas sebagai suatu tempat yang tinggi dimana lakon-lakon drama dipentaskan atau suatu tempat dimana para aktor bermain. Sedang W.J.S. Purwadarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia menerangkan pentas sebagai lantai yang agak ketinggian dirumah (untuk tempat tidur) ataupun di dapur (untuk memasak). Dengan demikian kalau disimpulkan pentas adalah suatu tempat dimana para penari atau pemeran menampilkan seni pertunjukan dihadapan penonton.
Selain istilah pentas kita mengenal istilah panggung. Panggung menurut Purwadarminta ialah lantai yang bertiang atau rumah yang tinggi atau lantai yang berbeda ketinggiannya untuk bermain sandiwara, balkon atau podium. Dalam seni pertunjukan panggung dikenal dengan istilah Stage melingkupi pengertian seluruh panggung. Jika panggung merupakan tempat yang tinggi agar karya seni yang diperagakan diatasnya dapat terlihat oleh penonton, maka pentas juga merupakan suatu ketinggian yang dapat membentuk dekorasi, ruang tamu, kamar belajar, rumah adat dan sebagainya. Jadi beda panggung dengan pentas ialah pentas dapat berada diatas panggung atau dapat pula di arena atau lapangan.
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan, pentas merupakan bagian dari panggung yaitu suatu tempat yang ditinggikan yang berisi dekorasi dan penonton dapat jelas melihat. Dalam istilah sehari-hari sering disebut dengan panggung pementasan, dan apabila suatu seni pertunjukan dipergelarkan tanpa menggunakan panggung maka disebut arena pementasan. Sehingga pementasan dapat diadakan diarena atau lapangan.
Kini yang dianggap pentas bagi seni pertunjukan kontemporer tidak saja berupa panggung yang biasa terdapat pada sebuah gedung akan tetapi keseluruhan dari pada gedung itulah pentas, yakni panggung dan tempat orang menonton. Sebab pada penampilan seni pertunjukan tokoh dapat saja turun berkomunikasi dengan penontonnya atau ia dapat muncul dari arah penonton. Seperti istilah Shakespeare bahwa seluruh dunia ini adalah pentas ( all the word’s stage). Dengan begitu bisa saja setiap lingkungan masyarakat memiliki sebuah pentas yang memadai dan sesuai untuk mementaskan sebuah seni pertunjukan.
2. Macam-Macam Panggung
Secara fisik bentuk panggung dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu panggung tertutup, panggung terbuka dan panggung kereta. panggung tertutup terdiri dari panggung prosenium, panggung portable dan juga dapat berupa arena. Sedangkan panggung terbuka atau lebih dikenal dengan sebutan open air stage dan bentuknya juga bermacam-macam.
a. Panggung Prosenium atau Panggung Pigura
Panggung prosenium merupakan panggung konvensional yang memiliki ruang prosenium atau suatu bingkai gambar melalui mana penonton menyaksikan pertunjukan. Hubungan antara panggung dan auditorium dipisahkan atau dibatasi oleh dinding atau lubang prosenium. Sedangkan sisi atau tepi lubang prosenium bisa berupa garis lengkung atau garis lurus yang dapat disebut dengan pelengkung prosenium (Proscenium Arch).
Panggung prosenium dibuat untuk membatasi daerah pemeranan dengan penonton. Arah dari panggung ini hanya satu jurusan yaitu kearah penonton saja, agar pandangan penonton lebih terpusat kearah pertunjukan. Para pemeran diatas panggung juga agar lebih jelas dan memusatkan perhatian penonton. Dalam kesadaran itulah maka keadaan pentas prosenium harus dapat memenuhi fungsi melayani pertunjukan dengan sebaik-baiknya.
Dengan kesadaran bahwa penonton yang datang hanya bermaksud untuk menonton pertunjukan, oleh karena itu harus dihindarikan sejauh mungkin apa yang nampak dalam pentas prosenium yang sifatnya bukan pertunjukan. Maka dipasanglah layar-layar (curtain) dan sebeng-sebeng (Side wing). Maksudnya agar segala persiapan pertunjukan dibelakang pentas yang sifatnya bukan pertunjukan tidak dilihat oleh penonton. Pentas prosenium tidak seakrab pentas arena, karena memang ada kesengajaan atau kesadaran membuat pertunjukan dengan ukuran-ukuran tertentu. Ukuran-ukuran atau nilai-nilai tertentu dari pertunjukan itu kemudian menjadi konvensi. Maka dari itu pertunjukan yang melakukan konvensi demikian disebut dengan pertunjukan konvensional.
Gambar 1. Denah panggung Prosenium
b. Panggung Portable
Panggung portable yaitu panggung tanpa layar muka dan dapat dibuat di dalam maupun di luar gedung dengan mempergunakan panggung (podium, platform) yang dipasang dengan kokoh di atas kuda-kuda. Sebagai tempat penonton biasanya mempergunakan kursi lipat. Adegan-adegan dapat diakhiri dengan mematikan lampu (black out) sebagai pengganti layar depan. Dengan kata lain bahwa panggung portable yaitu panggung yang dibuat secara tidak permanen.
Gambar 2. Panggung portable
c. Panggung Arena
Panggung arena merupakan bentuk panggung yang paling sederhana dibandingkan dengan bentuk-bentuk pangung yang lainnya. Panggung ini dapat dibuat di dalam maupun di luar gedung asal dapat dipergunakan secara memadai. Kursi-kursi penonton diatur sedemikian rupa sehingga tempat panggung berada di tengah dan antara deretan kursi ada lorong untuk masuk dan keluar pemain atau penari menurut kebutuhan pertunjukan tersebut. Papan penyangga (peninggi) ditempatkan di belakang masing-masing deret kursi, sehingga kursi deretan belakang dapat melihat dengan baik tanpa terhalang penonton dimukanya. Sebagai penganti layar pada akhir pertunjukan atau pergantian babak dapat digunakan dengan cara mematikan lampu (black out). Perlengkapan tata lampu dapat dibuatkan tiang-tiang tersendiri dan penempatannya harus tidak mengganggu pandangan penonton.
Berbagai ragam bentuk panggung arena adalah sebagai berikut :
c.1. Panggung arena tapal kuda adalah panggung dimana separuh bagian pentas atau panggung masuk kebagian penonton sehingga membentuk lingkaran tapal kuda.
Gambar 3. Denah panggung arena tapal kuda
c.2. Panggung arena ¾, berarti ¾ dari panggung masuk kearah penonton atau dengan kata lain penonton dapat menyaksikan pementasan dari tiga sisi atau arah penjuru panggung. Panggung arena ¾ biasanya berupa pentas arena bentuk U.
Gambar 4. Denah panggung arena bentuk U
c.3. Panggung arena penuh yaitu dimana penonton dapat menyaksikan pertunjukan dari segala sudut atau arah dan arena permainan berada di tengah-tengah penonton. Panggung arena penuh biasanya panggung arena bujur sangkar atau panggung arena bentuk lingkaran.
Gambar 5. Denah panggung arena bujur sangkar
Gambar 6. Denah panggung arena bentuk lingkaran
d. Panggung Terbuka
Panggung terbuka sebetulnya lahir dan dibuat di daerah atau tempat terbuka. Berbagai variasi dapat digunakan untuk memproduksi pertunjukan di tempat terbuka. Pentas dapat dibuat di beranda rumah, teras sebuah gedung dengan penonton berada di halaman, atau dapat diadakan disebuah tempat yang landai dimana penonton berada di bagian bawah tempat tersebut. Panggung terbuka permanen (open air stage) yang cukup popular di Indonesia antara lain adalah panggung terbuka di Candi Prambanan.
Gambar 7. Denah panggung terbuka
e. Panggung Kereta
Panggung kereta disebut juga dengan panggung keliling dan digunakan untuk mempertunjukkan karya-karya teater dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan panggung yang dibuat di atas kereta. Perkembangan sekarang panggung tidak dibuat di atas kereta tetapi dibuat diatas mobil trailer yang diperlengkapi menurut kebutuhan dan perlengkapan tata cahaya yang sesuai dengan kebutuhan pentas. Jadi kelompok kesenian dapat mementaskan karyanya dari satu tempat ke tempat lain tanpa harus memikirkan gedung pertunjukan tetapi hanya mencari tanah yang agak lapang untuk memarkir kereta dan penonton bebas untuk menonton.
3. Pokok-pokok Persyaratan Set Panggung/Pentas
Set panggung atau pentas (scenery) yaitu penampilan visual lingkungan sekitar gerak laku pemeran dalam sebuah lakon. Untuk itu dalam merancang pentas harus memperhatikan aspek-aspek tempat gerak-laku, memperkuat gerak-laku dan mendandani atau memperindah gerak-laku. Oleh sebab itu, tugas seorang perancang pentas hendaklah merencanakan set-nya sedemikian rupa sehingga :
  1. Dapat memberi ruang kepada gerak-laku.
  2. Dapat memberi pernyataan suasana lakon.
  3. Dapat memberi pandangan yang menarik.
  4. Dapat dilihat dan dimengerti oleh penonton.
  5. Merupakan rancangan yang sederhana
  6. Dapat bermanfaat terus menerus bagi pemeran atau pelaku.
  7. Dapat secara efisien dibuat, disusun dan dibawa.
  8. Dapat membuat rancangan yang menunjukkan bahwa setiap elemen yang terdapat didalam penampilan visual pentasnya memiliki hubungan satu sama lain.
Oleh karena itu, secara singkat seorang perancang pentas yang membuat set harus memiliki tujuan yaitu: lokatif, ekspresif, atraktif, jelas, sederhana, bermanfaat, praktis dan organis.
  • Lokatif yaitu penataan pentas itu harus dapat memberi tempat kepada gerak laku pemeran atau pelaku pertunjukan.
  • Ekspresif yaitu penataan pentas harus dapat memperkuat gerak-laku dengan memberi penjelasan, menggambarkan keadaan sekitar dan menciptakan suasana bagi gerak-laku tersebut.
  • Atraktif yaitu penataan pentas itu harus dapat memberi pandangan yang menarik bagi penonton.
  • Jelas yaitu penataan pentas itu harus merupakan rancangan yang dapat dilihat dan dimengerti oleh penonton dari suatu jarak tertentu.
  • Sederhana yaitu penataan pentas itu harus sederhana. Sederhana tidak berarti bahwa pentas hanya terdiri dari satu meja dan dua kursi, tetapi penataannya tidak ruwet dan penonton dapat melihat dan menarik maknanya tanpa memeras pikiran dan perasaan.
  • Bermanfaat yaitu penataan pentas harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat bermanfaat bagi para pemeran dengan efektif dan seefisien mungkin.
  • Praktis yaitu penataan pentas itu harus dapat secara efisien dibuat, disusun dan dibawa serta dapat memenuhi kebutuhan teknis pembuatan tata pentas atau scenery.
  • Organis yaitu penataan pentas itu harus dapat menunjukkan setiap elemen yang terdapat didalam penampilan visual penataannya dan memiliki hubungan satu sama lainnya.
Studi Kasus
Pak Amat ingin menggelar sebuah pertunjukan seni teater atau drama karena anaknya berhasil lulus dengan baik. Tempat pak Amat tinggal tidak memiliki gedung pertunjukan yang memadai, maka diputuskan pertunjukan akan digelar dirumahnya yang memiliki halaman yang cukup luas.  Sebelum pertunjukan itu dilaksanakan dia meminta bantuan tetangga untuk mempersiapkan tempatnya. Karena pak Amat dikenal sebagai orang yang suka menolong, maka tetangganya dengan senang hati membantu mempersiapkan tempat pertunjukan tersebut. Ketika pekerjaan mau dilaksanakan,  para tetangga bingung tempat itu mau dibuat seperti apa dan bagaimana bentuknya serta dari bahan apa.
Semua orang memikirkan alternativ tempat pertunjukan itu. Ada yang mengusulkan halaman yang diberi pembatas dan penontonnya diluar pembatas tersebut, ada yang mengusulkan meja  disusun sehingga permainan dilakukan di atas susunan meja tersebut. Ada lagi yang mengusulkan papan disusun diatas drum-drum aspal dan sekelilingnya ditutup kain sehingga penonton hanya dapat melihat dari depan saja.
Setelah melalui perundingan maka dibuatlah tempat tersebut dari papan yang disangga oleh drum-drum yang  dijajar. Diatas tempat tersebut kemudian dihiasi menyerupai ruang tamu karena cerita yang akan dibawakan yaitu “Domba-domba Revolusi” karya B. Soelarto. Cerita tersebut menggambarkan konflik antar tokoh yang  terjadi  pada jaman revolusi dan bertempat di ruang tamu sebuah losmen.  Dalam ruang tersebut ada satu set meja kursi dan bangku panjang yang ditata untuk menghidupkan permainan tokoh yang menggambarkan suasana pada jaman revolusi.
Dari kasus tersebut di atas, apa yang dapat kita pelajari tentang panggung dan tata pentas (tulis semua apa yang anda ketahui dalam bentuk  uraian singkat). Sebelum kita mempelajari teori-teori yang ada cobalah gambar usulan-usulan dalam studi kasus tersebut kedalam bentuk gambar sketsa dan identifikasikan bentuk panggung apa. Setelah gambar usulan tersebut jadi, kemudian gambar juga rencana dekorasi sesuai dengan cerita yang ditulis oleh B. Soelarto tersebut. Dari gambar-gambar yang saudara kerjakan kemudian buatlah sebuah kesimpulan. Kalau anda kurang yakin dengan kesimpulan tersebut pelajari lagi materi yang ada, tetapi kalau anda sudah paham tentang panggung dan tata pentas anda boleh melanjutkan materi berikutnya.
TUGAS
  1. Apa yang anda pahami tentang panggung dan tata pentas?
  2. Sebutkan macam panggung dan jelaskan secara singkat dengan bahasa anda sendiri.
  3. Apa syarat tata pentas yang baik menurut anda setelah memahami teori di atas ?
  4. Coba gambar rencana tata pentas sesuai dengan cerita yang anda ketahui dan yang memungkinkan diwujudkan.

Menyetubuhi Tokoh

Richard Boleslavsky

Richard Boleslavsky tokoh yang dikenal sebagai murid Stanislavsky mengembangkan teori Stanislavsky. Buku karangannya sangat terkenal dengan judul Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor yaitu;

1. Pelajaran Pertama : Konsentrasi
Konsentrasi bertujuan agar aktor dapat mengubah diri menjadi orang lain, yaitu peran yang dibawakan. Untuk mampu berkonsentrasi, aktor harus berlatih memusatkan perhatian, mulai dari lingkaran yang besar, menyempit, kemudian membesar lagi. Kendatipun latihan dilakukan di tempat yang ramai oleh suara hiruk pikuk orang jika konsentrasi kuat lakon akan tetap berjalan. Latihan konsentrasi ini juga dapat dilaksanakan melalui latihan fisik (seperti yoga), latihan intelek atau kebudayaan (misalnya menghayai musik, puisi, seni lukis), dan latihan sukma (melatih kepekaan sukma menanggapi segala macam situasi). 
2. Pelajaran Kedua: Ingatan Emosi
The transfer of emotion adalah merupakan cara yang efektif untuk menghayati suasana emosi peran secara hidup, wajar dan nyata. Jika pelaku harus bersedih, dengan suatu kadar kesedihan tertentu dan mengahdirkan emosi yang serupa, maka kadar kesedihanitu takarannya tidak akan berlebihan, sehingga tidak terjadi over acting. 
3. Pelajaran Ketiga: Laku Dramatis
Berlaku dramatis artinya bertingkah laku dan berbicara bukan sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai pemeran. Untuk itu memang diperlukan penghayatan terhadap tokoh itu secara mendalam, sehingga dapat diadakan adaptasi. 
4. Pelajaran Keempat: Pembangunan Watak
Aktor harus membangun wataknya, sehingga sesuai dengan tuntutan lakon. Pembangunan watak iu didahului dengan menelaah struktur fisik, kemudian mengidentifikasikannya, dan menghidupkan watak itu seperti halnya wataknya sendiri.
5. Pelajaran Kelima: Observasi
Observasi untuk tokoh yang sama dengan peran yang dibawakan. Untuk memerankan tokoh pengemis dengan baik, perlu mengadakan observasi terhadap pengemis dengan ciri fisik, psikis, dan sosial yang sesuai. Latihan observasi dapat juga dilakukan dengan jalan melakukan sesuatu yang pernah dilihat dengan pura-pura. Misalnya: adegan membuka pintu (pintu tidak ada). 
6. Pelajaran Keenam: Irama
Sentuhan terakhir dalam sebuah latihan drama adalah pengaturan irama perminan ini. Sedangkan irama permainan untuk setiap aktor, diwujudkan dalam panjang pendek, keras lemah, tinggi rendahnya dialog, serta variasi gerakan, sehubungan dengan timing, penonjolan bagaian, pemberian isi, progresi dan pemberian variasi pentas.

Teater? Drama?

ARTI TEATER

Secara etimologis: Teater adalah gedung pertunjukan atau auditorium. Dalam arti luas: Teater ialah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dalam arti sempit: Teater adalah drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media : Percakapan, gerak dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang oleh dekor, musik, nyanyian, tarian, dan lain-lain. Misalnya: wayang orang, ketoprak, ludruk, arja, reog, lenong, topeng, dagelan, sulapan akrobatik, bahkan pertunjukan band dan lain sebagainya.

Dalam arti sempit/khusus: drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh penonton, dengan media percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor (setting), didasarkan atas naskah yang tertulis (hasil dari seni sastra) dengan atau tanpa musik, nyanyian, tarian.

Terater sebagai tontonan mempunyai dua bentuk, yaitu: teater modern dan teater tradisional. Teater tradisional tidak menggunakan naskah. Sutradara hanya menugasi pemain untuk memainkan tokoh tertentu. Para pemain di tuntut mempunyai spontanitas dalam berimprovisasi yang tinggi. Contoh teater tradisional antara lain: ludruk (Jawa timur), ketoprak (Jawa tengah), dan lenong (Jawa barat).

Teater Modern menggunakan naskah yang dipegang teguh, dipatuhi dan dilaksanakan seluruhnya. Penataan panggung, musik pengiring, penataan lampu, percakapan dan gerak pemain harus mengikuti naskah.Sedangkan drama, kata ini diambil dari bahasa yunani “draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bereaksi, bertindak. Sehingga arti drama ialah perbuatan atau tindakan.Pengertian lain tentang drama ialah:

ARTI DRAMA

Drama berarti perbuatan, tindakan. Berasal dari bahasa Yunani “draomai" yang berarti berbuat, berlaku, bertindak dan sebagainya. Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak Konflik dari sifat manusia merupakan sumber pokok drama. Dalam bahasa Belanda, drama adalah toneel, yang kemudian oleh PKG Mangkunegara VII dibuat istilah Sandiwara.

Drama ialah kualitas komunikasi, situasi, action, (segala yang terlihat dalam pentas/panggung) yang menimbulkan perhatian, kehebatan, dan ketegangan pada pendengar/penonton.Drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan erak di hadapan penonton.

Seni drama merupakan suatu tontonan hasil perpaduan dari cabang seni lainnya ini dapat dilihat, antara lain: (1) seni sastra untuk naskah cerita; (2) seni lukis untuk tata rias dan tata panggung; (3) seni musik untuk musik pengiring; (4) seni tari untuk gerak-gerik pemain; (5) seni peran untuk pemeranan tokoh.

Ada sejumlah istilah yang memiliki kedekatan makna dengan drama, yaitu:
  1. Sandiwara. Istilah ini diciptakan oleh Mangkunegara VII, berasal dari kata bahasa Jawa sandhi ang berarti rahasia, dan warah yang berarti pengajaran. Oleh Ki Hajar Dewantara, istilah sandiwara diartikan sebagai pengajaran yang dilakukan dengan perlambang, secara tidak langsung.
  2. Lakon. Istilah ini memiliki beberapa kemungkinan arti, yaitu (1) cerita yang dimainkan dalam drama, wayang, atau film (2) karangan yang berupa cerita sandiwara, dan (3) perbuatan, kejadian, peristiwa.
  3. Tonil. Istilah ini berasalh dari bahasa Belanda toneel, yang artinya pertunjukan. Istilah ini populer pada masa penjajahan Belanda.
  4. Teater. Istilah ini berasal dari kata Yunani theatron, yang arti sebenarnya adalah dengan takjub memandang, melihat. Pengertian dari teater adalah (1) gedung pertunjukan, (2) suatu bentuk pengucapan seni yang penyampaiannya dilakukan dengan dipertunjukkan di depan umum.
  5. Pentas. Pengertian sebenarnya adalah lantai ang agak tinggi, panggung, tempat pertunjukan, podium, mimbar, tribun.
  6. Sendratari. Kepanjangan akronim ini adalah seni drama dan tari, artinya pertunjukan serangkaian tari-tarian yang dilakukan oleh sekelompok orang penari dan mengisahkan suatu cerita dengan tanpa menggunakan percakapan.
  7. Opera. Artinya drama musik, drama yang menonjolkan nyanyian dan musik.
  8. Operet. Opera kecil, singkat, dan pendek.
  9. Tablo. Yaitu drama yang menampilkan kisa dengan sikap dan posisi pemain, dibantu oleh pencerita. Pemain-pemain tablo tidak berdialog.

Istilah-Istilah dalam Drama
Babak
Babak, merupakan bagian dari lakon drama. Dalam satu lakon drama mungkin saja terdiri dari satu, dua atau tiga babak bahkan mungkin lebih. Batas antara babak satu dengan babak selanjutnya ditandai dengan turunnya layer atau matinya penerangan lampu pementasan. Bila lampu dinyalakan kembali atau layer diangkat kembali biasanya ada perubahan penataan panggung yang menggambarkan setting yang berbeda.

Adegan
Adegan adalah bagian dari babak. Sebuah adegan hanya bagian dari rabgkaian suasana dalam babak.

Prolog
Prolog adalah kata pendahuluan dalam lakon drama. Prolog biasanya berisi tentang perkenalan tokoh-tokoh dan pemerannya, konflik yang terjadi dan juga synopsis lakon.

Epilog
Epilog adalah kata penutup yang mengakhiri pementasan. Isinya kadang berupa kesimpulan atau ajaran yang bisa diambil dari tontonan drama yang telah disajikan.

Dialog
Dialog adalah percakapan para pemain. Dialog memegang peranan penting karena menjadi pengarah lakon drama. Agar dialog tidak membosankan maka pengucapannya harus disertai penjiwaan secara emosional, selain itu pelafalannnya harus jelas dan cukup keras.

Monolog
Monolog adalah percakapan seorang pemain dengan dirinya sendiri.

Mimik
Mimik adalah ekspresi gerak-gerik wajah untuk menunjukkan emosi yang dialami pemain.

Pantomim
Pantomim adalah ekspresi gerak-gerik tubuh untuk menunjukkan emosi yang dialami pemain.

Pantomimik
Pantomimik adalah perpaduan ekspresi gerak-gerik wajah dan gerak-gerik tubuh untuk menunjukkan emosi yang dialami pemain.

Gestur
Gestur adalah gerak-gerak besar, yaitu gerakan tangan kaki, kepala, dan tubuh pada umumnya yang dilakukan pemain.

Bloking
Bloking adalah aturan berpindah tempat dari tempat yang satu ke tempat yang lain agar penampilan pemain tidak menjemukan.

Gait
Gait berbeda dengan bloking karena diartikan tanda-tanda khusus pada cara berjalan dan cara bergerak pemain.

Akting
Akting adalah gerakan-gerakan yang dilakukan pemain sebagai wujud penghayatan peran yang dimainkan.

Aktor
Aktor adalah orang yang melakukan acting yaitu pemain drama. Untuk actor wanita disebut sebagai aktris.

Improvisasi
Improvisasi adalah gerakan-gerakan atau ucapan-ucapan penyeimbang untuk lebih menghidupkan peran.

Ilustrasi
Ilustrasi adalah iringan bunyi-bunyian untuk memperkuat suasana yang sedang digambarkan. Istilah ilustrasi juga bias disebut musik pengiring.

Kontemporer
Kontemporer adalah lakon atau naskah serba bebas yang tidak terikat aturan.


Kostum
Kostum adalah pakaian para pemain yang dikenakan pada saat memerankan tokoh cerita di panggung.

Sekenario
Skenario adalah susunan garis-garis besar lakon drama yang akan diperagakan para pemain.

Panggung
Panggung adalah tempat para actor memainkan drama.

Layar
Layar adalah kain penutup panggung bagian depan yang dapat dibuka dan ditutup sesuai dengan kebutuhan.


Penonton
Penonton adalah semua orang yang hadir untuk menyaksikan pertunjukan drama.

Sutradara
Sutradara adalah orang yang memimpin dan paling bertanggung jawab dalam pementasan drama.

REALIS DAN LATAR KEBANGKITANNYA

REALISME dalam drama atau teater sangat berhubungan erat dengan tradisi drama atau teater realis di Barat. Drama atau teater realis lahir dari dinamika sejarah masyarakat Barat dan berhasil mencapai taraf proses konvensionalisasi yang mapan. Di Inggris, drama realis tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Inggris pada abad XII yang dimotori kelas borjuasi.Berkaitan dengan seni peran dapat diamati pada periode besar teater Elizabethan. Perkembangan dan pertumbuhan imperius-Inggris membuka kesempatan bagi kelompok saudagar dan pemilik-pemilik toko untuk berkembang secara ekonomis dan politis. Makin lama mereka semakin kuat dan akhirnya tumbuh pula harga dirinya sebagai kelas tersendiri. Di dalam dunia teater, pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja, bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudagar dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan tidak hadir.
Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme. Daya lain yakni Ilmu Pengetahuan: teori Evolusi Darwin, teori psikologi sebelum Sigmund Freud, maupun masalah-masalah sosial yang menantang pendekatan ilmiah pada masa-masa itu mendorong tumbuhnya suatu sikap dan cara memandang kehidupan secara khas. Sikap dan pandangan ini secara tak langsung menyatakan bahwa kehidupan dan dunia dapat dipahami melalui pengamatan dan penggambaran obyektif. Para Raja dan kaum bangsawan sudah tersisih dari kehidupan, maka mereka pun tersisih dari pentas pula.
Kebangkitan borjuasi ternyata juga membangkitkan individualisme. Tokoh-tokoh pemikir yang mewakili kelas borjuasi seperti Hobbes, Montesquieu dan Rousseau langsung atau tidak langsung mengungkapkan pandangan tentang supremasi individu dalam masyarakat dan menekankan pentingnya pengaturan hubungan (politis) individu dengan masyarakat dan negara. Pandangan demikian dikenal dalam masyarakat yang menentang dan membebaskan diri dari pandangan komunal-feodal.
Secara mudah dapat dipahami mengapa dalam realisme individu demikian menonjol; justru individu sebagai protagonis yang dengan tindakannya menimbulkan konflik dengan lingkungannya, dengan masyarakatnya yang melahirkan drama.Sehingga tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa realisme adalah teater tokoh, teater individu. Realisme berbicara Dr. Stocmann dalam Musuh Masyarakat karya Hendrik Ibsen, Willy Loman dalam Matinya Pedagang Keliling karya Arthur Miller, Jane, Fritz, Corrie, Willem dalam Perhiasan Gelas karya Tennesse William. Penulis pernah memainkan tokoh Fritz, Doni Kus Indarto memeranan Willem, Sari Nainggolan sebagai Corrie dan Sekar Pamungkas sebagai Jane waktu studi Penyutradaraan II pada Jurusan Teater ISI Yogyakarta di Kampus Utara Karangmalang (1987).
Individu-individu yang hadir di atas pentas mewakili dirinya sendiri, mereka hadir dalam keamungan atau keunikan di dalam pikiran, perasaan, temperamen dan pandangan hidup. Mereka adalah manusia darah daging yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam realisme, protagonis dan antagonis merupakan sarana pelaksana konflik. Ia adalah tokoh yang bertentangan dengan setengah pihak lainnya, baik lingkungan sosial, spiritual atau alam. Ia berusaha mengalahkan, menundukkan lawannya dan menyadari keterbatasan, kelemahannya dengan tabah dan agung maka terjadilah tragedi. Jika mereka dapat menerima kelemahan dan keterbatasannya dengan tertawa maka lahir komedi. Apapun yang terjadi pihak protagonis dan antagonis merupakan individu yang menentukan.
Teater realisme sifatnya sastrawi (literrer). Bahasa sangat menonjol sehingga terkesan verbal. Hal ini dapat dimengerti karena hanya dengan bahasalah cocok untuk mengungkapkan yang bersifat intelektual dan analitik. Seperti halnya kegiatan masyarakat Eropa. Kecenderungan intelektualitas ini diwakili tokoh realisme dari Inggris, Shaw dimana ia menulis dialog sebagai disksi dan debat. Gambaran obyektif tentang dunia, kecenderungan menempatkan kedudukan individu pada tempat yang sangat dominan serta kecenderungan memandang hakikat drama sebagai konflik telah menggerakkan suatu proses konvensionalisasi terhadap para penata panggung (stage, propertys dsbnya), gaya berperan dan cara menulis naskah, proses konvensionalisasi ini mencapai kemapanannya pada pertengahan akhir abad XIX, melalui -tokoh-tokoh seperti Ibsen, Chekov dan Stanislavsky (Ferguson, 1956).Untuk itu dapat ditangkap bahwa realisme memuat pandangan dunia, yang memandang dunia dan alam sebagai sesuatu sasaran untuk ditaklukkan dan ditundukkan. Kemudian dimanfaatkan, dieksploatasi. Awal abad XX terjadi perkembangan baru dalam kehidupan teater di Eropa. Tokoh seperti Brecht, Artaud menolak aliran realisme.

Latar Kebangkitan

Realisme bangkit seiring dengan tumbuh dan berkembang kelas, burjuis di Eropa. Sejak jaman Renesan, dunia perdagangan di Eropa mulai maju. Perlahan-lahan pengaruh dan kekuasan berpindah dari golongan aristokrat pemilik tanah dan pedagang. Dampak yang muncul pada dunia teater, kelas burjuasi tak ingin lagi menonton lakon raja-raja, pangeran dan putri-putri Mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Fenomena ini menggerakan George Lillo menulis tentang magang, pelacur dan saudagar dalam naskah saudagar dari London, atau Tragedi George Barnwell (1731). Naskah ini tidak menghadirkan satria-satria, putri-putri serta pahlawan-pahlawan dengan zirah mengkilap dan pedang bergemerincing.
Kebangkitan kelas burjuasi merupakan salah satu sebab yang mendukung munculnya realisme. Ada juga kekuatan lain yaitu perkembangan Ilmu pengetahuan. Teori evolusi Darwin, Positivisme Auguste Comnte, serta teori-teori psikologi Freud dan masalah-masalah sosial yang menentang pendekatan secara ilmiah, menimbulkan suatu cara pandang yang khas pada kehidupan.
Sikap dan cara pandang ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kehidupan dan dunia dapat dipahami melalui pengamatan dan penggambaran obyektif. Peri-peri dan tukang tenung berada di luar dunia obyektif. Dengan sendirinya para pangeran dan para putri sudah saatnya tersisih dalam kehidupan panggung.
Munculnya kelas burjuasi dan perkembangan llmu Pengetahuan abad XIX, akhirnya membangkitkan suatu pola hidup individualisme. Tokoh-tokoh pemikir yang mewakili kelas burjuasi seperti Hobbes, Montesquieu dan Rousseau, langsung atau tidak langsung mengungkapkan pandangan tentang supremasi individu dalam masyarakat. Mereka menekankan pentingnya pengaturan hubungan (politis) individu dengan masyarakat dan negara. Pandangan ini bukan saja tidak dikenal dalam masyarakat komunal-feodal, akan tetapi justru menentang dan membebaskan diri dari pandangan komunal-feodal tentang individu. Oleh karena itu mudah dipahami jika dalam pentas realisme, individu-individu dibuat sangat menonjol keberadaannya. Individu sebagai tokoh protagonis dalam tindakannya bisa menimbulkan konflik dengan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan tokoh-tokoh dalam drama Klasik dan Romantik yang dilandasi semangat mitis ingin menegakkan moral dan kebenaran. Para tokoh yang dimunculkan dalam drama Romatis bisa dikatakan sebagai manusia setengah dewa
Romantikisme secara mencolok menampilkan konflik antara kejahatan dan kebaikan, yang kelihatannya diwarisi dari mitos-mitos Yunani Kuno sebagai tragedi kehidupan. Dalam Romantikisme diciptakan sikap yang kontras dalam menanggapi kebenaran dan dosa, antara roh dan nafsu kedagingan. Cinta juga selalu menjadi bagian yang terus dipertahankan ketika berhadapan dengan kekhaosan hidup. Romantikisme tidak ragu untuk mengafirmasikan cinta dan pengorbanan sebagai tindakan heroik. Manusia semacam Robin Hood yang hidup di hutan dengan kawan rampoknya, yang dikejar-kejar penguasa tapi tetap memperjuangkah rakyat miskin, adalah gagasan tokoh dari abad Romantikisme.

Realisme Konvensional

Setelah digambarkan bahwa realisme lahir dari dinamika kehidupan masyarakat Barat yang menekankan obyektifitas pengamatan, maka yang nampak di atas panggung kemudian ialah sebuah kehidupan yang diusahakan sesuai dengan aslinya. Dinyatakan oleh Kernodle bahwa realisme menyajikan gagasan untuk menampilkan suatu bagian dari kehidupan. Di atas panggung akan terbayang sepotong kehidupan, sehingga jagad panggung merupakan penyajian kembali kehidupan indrawi. Secara teknis pementasan di atas panggung diusahakan menggambarkan kehidupan sering mungkin. Pentas dan perlengkapan panggung menggambarkan ruang duduk suatu keluarga, atau ruang kantor dan ruang lain yang paling umum dilihat oleh penonton. Kalau cerita mengenai sejarah, misalnya tentang Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, maka ruang dan keseluruhan perlengkapan pentas disesuaikan sedekat mungkin dengan bentuk dan gaya zaman itu. Pertunjukan teater semacam ini dikatakan oleh Saini (1991) sebagai model teater realisme konvensional.
Selain properties, setting dan kostum yang secara pasti berkorespondensi dengan realita, realisme konvensional juga menolak gaya akting yang berlebihan. Pencetus utama untuk gaya berperan realis adalah Konstantin Sergeyevich Stanislavsky (1865-1938). Stanislavsky menekankan arti penting gaya berperan yang wajar, tidak dibuat-buat dan menolak gaya bicara deklamatoris. Dasar dari pemeranan ini mengungkapkan tingkah laku manusia sesuai dengan penernuan-penernuan di bidang psikologi.
Pendekatan pemeranan Stanislavsky dengan metode psikologi sangat sesuai untuk menganalisa tokoh-tokoh yang diciptakan dalam lakon realisme. Tokoh-tokoh dalam drama ini hadir sebagai individu-individu yang ada dalam keseharian dengan karakter penuh kontradiksi. Mereka bukan lagi para pangeran dan putri yang hidup dalam suasana glamour istana. Mereka adalah manusia darah daging yang harus berjuang keras dalam situasi sosial abad XIX dengan adanya revolusi industri.
Pada masa itu kemiskinan dan kejahatan telah merajalela lebih hebat daripada masa sebelumnya. Ide-ide tentang kebebasan dan persaudaraan kaum romantik telah runtuh. Akhirnya para tokoh yang diciptakan dalam lakon- lakon realisme adalah mereka yang bertentangan dengan lingkungan sosial, spiritual, maupun alam.
Dr. Stockman, dalam Musuh Masyarakat karya Henrik Ibsen, adalah salah satu contoh tokoh yang harus terpojok karena melawan lingkungan sosialnya. Meskipun ia benar narnun hukum masyarakat dan pemerintah menentukan lain. Penemuan adanya virus yang menyebar dalam pemandian kota oleh Dr. Stockman telah membuat resah masyarakat dan pemerintah Tempat pemandian itu adalah sumber pendapatan daerah. Jika benar bahwa air telah tercemar maka pemandian tersebut harus ditutup. Usaha ini dengan sendirinya merugikan pemerintah dan masyarakat. Akhirnya kebenaran yang diternukan oleh Dr. Stockman diangap fitnah, dan dia harus disingkirkan.
Drama-drama Ibsen menekankan gambaran watak manusia. Obsesinya sekitar pengaruh nilai-nilai palsu dalam masyarakat terhadap kehidupan pribadi yang harus berbuat secara palsu pula. Contoh kepalsuan ini sangat nampak dalam naskahnya yang lain, yaitu Hantu-Hantu. Naskah ini mengisahkan usaha Ny. Alving untuk menutupi masa lalu suaminya yang penuh noda. la berusaha menghilangkan noda dengan mendirikan RumahYatim dan menyumbang Gereja. Narnun bisakah hal ini menghapus kebobrokan suaminya? Ternyata tidak. Anak Ny. Alving tetap hadir sebagai pemuda yang mentalnya terbelakang. la terserang penyakit sipilys, turunan dan bapaknya. Bayang-bayang hitam masa lalu ternyata tak bisa dihilangkan dengan mudah.
Cukup beralasan jika akhirnya Saini K.M beranggapan bahwa teater realisme adalah teater tokoh, teater individu. Individu sebagai protagonis dengan segala tindakannya menimbulkan konflik dengan Lingkungannya, masyarakatnya, yang menimbulkan drama. Begitu pentingnya protagonis-individu ini, hingga dalam realisme ia mengambil setengah dari pentas sebagai ajang konflik.
Realisme konvensional juga menanarnkan ciri-cirinya pada gaya penulisan sastra lakon. Lakon realisme konvensional dituntut untuk menggunakan struktur yang terjalin dengan pola sebab-akibat. Tuntutan tersebut cukup beralasan karena lakon realis harus menampilkan peristiwa secara rasional. Alur cerita semacam ini cenderung mewujudkan struktur yang dikenal dengan nama Struktur Piramida Aristoteles. Struktur ini memiliki unsur- unsur yang berturut-turut meliputi eksposisi (pembukaan), komplikasi (keruwetan), krisis (penggawatan), klimaks (puncak kegawatan), resolusi (penguraian), konklusi (kesimpulan). Jika digambarkan dalam sebuah diagram, maka rumusan di atas berbentuk seperti bangun segitiga, dengan klimaks sebagai puncaknya.
Setelah dirintis oleh George Lillo, Henrik Ibsen menempati kedudukan yang terhormat dalam hubungannya dengan realisme konvensional. Dialah puncak terpenting aliran realisme. Pada Ibsen metode dan tujuan realisme diterapkan sebaik-baiknya. Pada tahun 1875 Ibsen mulai menulis naskah dan tahun tersebut dianggap sebagai permulaan teater modern.
Naskah-naskah Ibsen sangat berbeda dengan kecenderungan penulisan naskah sebelumnya. Pada Musuh Masyarakat atau Hantu-Hantu misalnya, tidak terlihat adanya penulisan yang bertele-tele, dipenuhi bumbu-bumbu khotbah dan kata-kata romantis lainnya. Dialog-dialog tertulis seperti percakapan keseharian. Pola ini akan mengarahkan pemeran untuk berbicara tidak seperti berdeklamasi. Akhirnya model penulisan semacam itu disyahkan sebagai gaya realisme konvensional. Dapatlah dipahami kalau Ibsen tidak saja dianggap sebagai Bapak Realisme tetapi juga sebagai Bapak Teater Modern, karena realisme konvensional adalah salah satu gejala modernisme.
Realisme dan Naturalisme
Ternyata pemahaman orang pada realisme sangat beragam dan memancing perdebatan. Tidak selamanya kehidupan nyata dapat ditransformasikan ke atas panggung. Hal ini berangkat dari suatu kesadaran bahwa pandangan dan interpretasi terhadap dunia nyata harus diseleksi. Konsep realisme tenis bergulir dan perlu didefinisikan kembali. Kemudian muncullah berbagai varian dari realisme. Salah satu varian itu ialah naturalisme.
Menurut Jakob Sumardjo, naturalisme merupakan sisi ekstrim dari Gerakan Realisme. Pada dasarnya naturalisme mempercayai bahwa kebenaran dunia dapat diketahui dengan lima indra manusia. Tetapi naturalisme, selain menuntut pendekatan ilmiah juga percaya bahwa kondisi manusia sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan keturunan.
Seiring dengan merebaknya gerakan naturalisme tumbuh pula kota-kota besar yang menjadi tempat pernukiman kaum urban yang kumuh (slum) akibat ekploitasi industri. Kemiskinan, kesengsaraan, kemelaratan serta kemerosotan moral menjadi persoalan yang kompleks. Kondisi ini memicu para naturalis untuk mengungkapkan kemerosotan dan kebobrokan masyarakat golongan bawah. Drama-drama mereka penuh dengan kebusukan manusia dan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupan.
Naturalisme menolak tampilan drama yang hanya didasarkan pada perkiraan terhadap kehidupan nyata. Setiap sajian drama naturalis adalah usaha mempraktekkan kehidupan nyata itu sendiri, bukan idealisasi kenyataan hidup. Drama naturalis adalah sepotong kehidupan nyata yang didasarkan pada kenyataan hidup yang keras dan kasar. Kenyataan yang ditranformasikan dalam pentas naturalisme misalnya drama sebabak Andre Antoine, Tukang Jagal, menghias pentas dengan daging-daging sapi sebenarnya seperti toko daging para penjagal dalam realita.
Meskipun disebut sebagai varian dari realisme, naturalisme mempunyai kecenderungan estetika yang sangat berbeda dengan realisme Realisme dipandang lebih obyektif daripada naturalisme. Dalam realisme segalanya digambarkan seperti keadaan yang sebenarnya, seperti yang dilihat oleh mata, tidak kurang tidak lebih. Pada seni rupa, seniman seolah-olah suatu cermin yang membayangkan kembali kehidupan sekitar dengan wama-wama, garis-garis dan gerak-geriknya. Seorang pengarang realis melukiskan tokoh-tokohnya dengan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sampai pada yang sekecil-kecilnya, dengan tidak memihak memberikan simpati atau antipati pada tokoh-tokohnya. la membayangkan tokoh-tokohnya seperti yang sungguh-sungguh dikenalnya. Pengarang atau pelukis adalah penonton yang obyektif. la tidak memperbagus dan memperjelek orang-orang dan keadaan-keadaan yang dilukisnya
Sedangkan oleh kaum naturalis, alam dilihat melalui kehangatan rasa. Dunia luar tak bisa dilukiskan seperti apa adanya. Pusat pribadi
seniman harus turut bicara. Singkat kata dalam naturalisme sangat berkuasa pandangan dan visi seniman sendiri atas alam. Suatu pandangan yang mengandung nafsu hidup yang besar.
Membahas naturalisme mengingatkan kita pada karya-karya Raden Saleh atau Basuki Abdullah yang sering menggambarkan figur perempuan secara erotis. Pernah timbul suatu rumusan bahwa naturalisme sebagai realisme cenderung pada hal kemesuman. Ini didasarkan pada beberapa pelukisan mesum atas karya Emile Zola yang dianggap sebagai pengarang naturalis terbesar. Jika ditelusuri sebenarnya roman-roman Zola isinya tidak sernuanya serba mesum.
Dalam teater, tema-tema drama naturalis adalah tampilan kenyataan naluri-naluri dasar yang berbahaya, seperti penyimpangan seksual, ketamakan, kerakusan dan berbagai fenomena kelaparan dan kemiskinan yang kompleks. Maxim Gorky dalam dramanya Lower Depth (1920) melukiskan tokoh-tokoh yang disergap kemelaratan, hidup di gudang bawah tanah. Mereka hanya bisa hidup dengan angan-angan dan khayalan.
Kemudian Henrik Ibsen dalam A Doll House melukiskan penyimpangan seksual seorang istri bernama Nora. Tetapi suaminya yang bernama Torvald justru memaafkan perbuatan istrinya yang mencemarkan itu. Drama ini pada intinya menggambarkan pertarungan antara kebenaran melawan hipokrisi. Para tokoh realisme abad ke IX menurut Ernst Cassirer, memiliki wawasan yang lebih cermat mengenai proses seni bila dibandingkan dengan lawan-lawan mereka, para tokoh romantikisme. Mereka meyakini naturalisme yang radikal dan tak kenal kompromi. Tetapi justru naturalisme inilah yang membuat mereka memiliki konsepsi mendalam mengenai bentuk artistik. Mereka membuat pelukisan-pelukisan amat detail tentang alam dan watak-watak manusia. Terlihat juga adanya daya imajinasi yang sangat kuat, meski mereka mundur kembali pada definisi usang bahwa seni ialah imitasi alam.
Naturalisme dalam gerakan teater, ternyata hanya sanggup bertahan sampai tahun 1900. Setelah itu hanya realismelah yang berpengaruh. Realisme justru makin berpengaruh karena perkembangan teknologi yang menunjangnya, seperti diketemukannya listrik.

Realisme dan Impresionisme

Impresionisme merupakan varian lain dari realisme. Jika drama naturalis ingin memberikan lukisan pikiran-pikiran yang berat, kejadian-kejadian yang menggetarkan jiwa, tidak demikianlah dengan drama impresionis. Drama impresionis hanya berusaha melukiskan kesannya yang sepintas pada suatu hal. Kesan tersebut tidak akan didramatisasikan secara berlebih, sebab hal itu justru akan menghilangkan kesan penglihatan dan perasaan pada mula pertama.
Drama impresionis mempunyai hubungan yang implisit dengan seni rupa. Para impresionis lebih tertarik pada pemandangan yang seolah-olah ringan dan sepele. Claude Monet menernukan impresi dalam lukisannya berupa katedral yang hilang dalam kekaburan pagi buta. Demikian pula impresi sebuah jembatan dalam senja berkabut di London. Cahaya, cuaca, kabut, waktu yang merangkak dalam hari, dan warna lokal sangat penting dalam impresionisme. Latar depan lenyap, yang muncul adalah latar belakang.
Drama impresionistik menawarkan konflik yang tersamar dan berupa persoalan-persoalan yang sepele. Kecenderungan ini menjadikan karakter tokohnya terkesan tidak mengalami perubahan watak yang jelas. Alur yang menunjang drama ini juga tidak pernah menunjukkan eksposisi dan progresi yang jelas serta klimaks yang menentukan. Ini sangat berbeda dengan drama naturalis yang tokoh, alur, konflik dan persoalannya jelas. Contoh yang cukup representatif dari kecenderungan impresionistik terdapat pada karya Anton Chekov.
Drama-drama Chekov diilhami dari kehidupan masyarakat Rusia jaman ia hidup. Tokoh-tokohnya memimpikan hidup yang berguna dan berbahagia, tetapi selalu terbentur oleh lingkungan, kepribadian dirinya dan keinginan-keinginan tokoh lain. Kejadian-kejadian yang diciptakan Chekov seakan-akan tak menentu arahnya, seperti karakter tokoh-tokohnya yang juga tak menentu. Nampaknya drama-dramanya memberi kesan murung tetapi di dalamnya banyak mengandung humor. Kemurungan dan humor muncul secara simultan dalam drama-dramanya. Ini bisa dilihat misalnya pada The Cherry Orchad (Kebun Chery, 1904).
The Cherry Orchad merupakan drama Chekov yang terkesan sangat impresionistik. Drama ini berkisah tentang sekelompok tokoh yang mencoba bertahan pada makna sebidang tanah perkebunan bangsawan. Mereka masih meyakini status kebangsawanannya karena m»sih tinggal di sebuah tanah dengan berdirinya tumbuhan Chery yang merupakan pohon simbol kebangsawanan di Rusia. Keberadaan mereka dalam realita sebenarnya telah digeser oleh hadirnya orang kaya baru dari kalangan pedagang. Kekalahan mereka akhirnya ditandai dengan ditumbangkannya pohon Chery oleh pemilik baru dari tanah bangsawan tersebut.
The Moscow Art Theatre di bawah arahan sutradara Stanislavsky mementaskan drama tersebut dengan penuh melankoli dan impresi yang mendalam. Tetapi Chekov ketika itu meminta dengan tegas bahwa drama itu adalah komedi. Ternyata aktor-aktor yang memerankan tokoh-tokoh dalam drama tersebut berhasil menciptakan karakter-karakter unik yang menggelikan, tokoh-tokoh yang bodoh tetapi lucu, tanpa harus kehilangan simpati mendalam atas penderitaan yang dialami tokoh-tokoh tersebut. Kombinasi tragik-komik memang senantiasa menjadi ciri-ciri yang menonjol dalam drama impresionistik. Begitu banyak persoalan yang ditimbulkan manusia karena ketamakannya, kerakusan, khayalan yang merusak diri sendiri, serta kepicikannya. Oleh karena itu yang muncul kemudian adalah sebentuk drama kehidupan yang penuh ironi.
Realisme Sosial
Aliran realisme tidak sepenuhnya diterima dalam abad XX Pemberontakan terhadap realisme timbul, antara lain oleh Symbolisme, Ekspresionisme dan Teater Epik. Konsepsi seni aliran di atas menentang realisme konvensional secara mendesar. Kaum symbolis beranggapan bahwa intuisi meruapakan dasar yang tepat untuk memahami realitas. Keyakinan tersebut berangkat dari suatu anggapan bahwa kenyataan tak bisa dipahami secara logis, maka kebenaran juga tak mungkin diungkapkan secara logis. Oleh karena itu kenyataan harus diperlihatkan dengan simbol-simbol. Sebuah drama symbolis cenderung bersifat samar, misterius dan membingungkan.
Sementara ekspresionisme, mendasarkan kebenaran bukan pada kenyataan-kenyataan luar seperti dalam realisme. Menurut kaum ekpresioms, kebenaran harus dicari dalam visi pribadi. Kebenaran terletak dalam jiwa, pikiran dan batin. Apa yang dianggap seseorang benar menurut batinnya harus diekspresikan meskipun tidak bersesuaian dengan dunia nyata di luarnya. Pandangan ini terasa sangat subyektif, bertentangan dengan realisme yang berusaha untuk selalu obyektif.
Sedang teater epik, meski dipertimbangkan sebagai gaya yang memberontak realisme, namun bentuk dramanya jika dicermati justru memperluas konsep realisme. Pemrakarsa teater epik ialah Bertolt Brecht (1898-1956). la mulai aktif dalam teater ketika Jerman tengah berada dalam puncak jaman ekspresionisme. Narnun jika kita melihat beberapa karya dramanya terlihat adanya kecenderungan menampilkan realita secara obyektif.
Realita yang ditampilkan oleh Brecht tidak sejalan dengan realisme konvensional. Pandangan Brecht pada fenomena sosial tidak bisa dipisah-kan dari sikap ideologinya sebagai penganut Marxisme. Brecht adalah seorang pengecam kapitalisme. Seperti telah dipaparkan di atas, realisme konvensional di antaranya tumbuh dan berkembang berkat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat burjuasi. Sementara Brecht sebagai seorang Marxis beranggapan bahwa kelas pekerja membutuhkan gaya teater yang lain, yaitu yang menyampaikan pesan-pesan yang politis. Karena pesan-pesan politisnya inilah teater Brecht bisa digolongkan ke dalam Arealisme sosialisa. Di samping itu karena bertujuan mengajar masyarakat untuk melihat realitas sesuai dengan pandangan yang marxistis itu, maka teater Brecht adalah juga bersifat didaktis.
Walaupun seorang marxis, Brecht tidaklah menulis lakon-lakon murahan. Sebagai seorang jenius ia dapat mengatasi kegagalan-kegagalan di bidang artistik. la kemudian tampil dengan karya-karya yang cemerlang, baik dalam bidang pemikiran, penulisan sastra lakon maupun penyutradaraan.Karena kejeniusannya dan kemampuannya di bidang artistik, ada yang beranggapan bahwa teater epik Brecht bukanlah Arealisme sosialis tapi lebih tepat digolongkan sebagai Arealisme sosial A. Ada perbedaan yang hakiki di antara ke duanya.
Realisme Sosialis, pada awalnya muncul tahun 1932 sesudah Konferensi Partai Komunis Uni Sovyet pada tanggal 30 Januari - 4 Februari 1932. Josep Stalin mengadakan perombakan besar-besaran pada seluruh aspek kehidupan, yakni perombakan dari watak proletar menuju watak sosialis. Perombakan itu termasuk dalam aktivitas budaya dan sastra yang harus memainkan peranan sebagai corong propaganda fase sosialis dalam segala bidang.
Sementara itu yang disebut dengan realisme sosial sama sekali tidak ada hubungannya dengan realisme sosialis. Pada prinsipnya realisme sosial merupakan suatu pandangan atau suatu keyakinan pengarang yang tertuang ke dalam prosa yang cermat, teliti, rinci, jujur dan obyektif dalam menampilkan seluruh kejadian kehidupan, termasuk kebobrokan yang terjadi dan dialami oleh pengarang. Dalam realisme sosial seorang pengarang dengan sadar melakukan kritik dengan tujuan penonton menjadi kritis. Aliran ini dikenal pula dengan sebutan realisme kritikal, suatu realisme sosial yang mengandung kritikan sekaligus membangkitkan reaksi kritis penonton.
Kalau diperhatikan secara teliti, realisme sosial bukanlah bagian dari struktur partai seperti dalam realisme sosialis. Aliran realisme sosial hanya menyajikan sebuah penilaian terhadap kenyataan sosial, tidak mempunyai ambisi lain kecuali menyodorkan suatu gambaran nyata yang terjadi di tengah masyarakat. Karya seni realisme sosial lebih cenderung sebagai gagasan pribadi yang mewakili golongan intelektual.
Munculnya sebutan teater epik sebetulnya untuk tujuan membedakan bentuk dan teori teateroya dengan realisme konvensional. Gaya teater epik menginginkan terjadinyajarak antara penonton, pemain dan pentas sehingga tercipta suasana kritis. Untuk menciptakan jarak ini, Brecht menciptakan prinsip V-Effect (VerfremdungsefTekt), yaitu efek pengasingan atau alienasi. Melalui efek alienasi ini baik penonton maupun pemain harus tetap mengambil jarak kritis terhadap masalah yang disajikan pengarang Penonton maupun pemain harus tetap sadar bahwa apa yang sedang mereka lihat dan alami bukanlah kehidupan, melainkan teater.
Teater Brecht bukanlah teater illusionos seperti teater realisme konvensional. Untuk itu dalam drama Brecht tidak diternukan pola penokohan yang bisa menimbulkan efek identifikasi. Sangat dihindari proses yang menjadikan penonton larut pada tokoh yang ada di panggung. Pemahaman pemeranan dalam teater epik tidaklah menuntut aktor untuk menjiwai tokoh dalam cerita yang diperankan, seperti halnya yang dianjurkan oleh Stanislavsky dalam realisme konvensional. Pemeran dalam teater epik hadir dengan sadar untuk mendemontrasikan pikiran, perasaan dan hasrat, cita-cita dan sebagainya. Walau di dalam praktek pemeranan tidaklah mudah menernukan batas-batas yang tegas antara pelaksanaan teori Stanislavsky dan teori Brecht, tapi ciri-ciri pemeranan Brecht cukup kentara. Dalam pemeranan teater epik para pemain lebih banyak mempergunakan daya ungkap gerak-gerik (gestikulasi). Pementasan sandiwara-sandiwara Brecht dan para pengikutnya biasanya ditandai dengan pemandangan pentas yang sibuk (sering ada nyanyian dan tarian) untuk tujuan alienasi.
Sastra lakon Brecht juga berbeda dengan sastra lakon realisme konvensional yang menganut faham Aristotelian. Brecht menyebut gaya lakonnya non-Aristotelian. Peristiwa-peristiwa dalam lakon Brecht tidak secara ketat dihubungkan oleh hukum sebab-akibat. Adegan demi adegan dalam lakon teater epik lebih berupa tempelan-tempelan (montage) Kesatuan lakon diciptakan dengan mengaitkan adegan satu dan yang lainya dengan menjaga keutuhan tema. Adegan- adegan tersebut biasanya disambung dengan suatu narasi yang dalam pertunjukan dilakukan oleh narator (pembawa acara).
Tata-pentas, tata-busana dan tata-perlengkapan (properties) diusahakan untuk berbeda dengan apa yang ada dalam kehidupan Sebagai contoh, kalau dalam pementasan diperlukan perlengkapan yang dibuat dari kotak-kotak bekas pembungkus sabun, maka perlengkapan itu dibiarkan seperti apa adanya. Jika kotak tersebut digunakan sebagai kursi, maka kotak tersebut tak perlu dicat. Papan-papan kotak sabun diperlihatkan seperti apa adanya agar penonton tetap sadar bahwa itu kotak sabun yang digunakan sebagai kursi.
Realisme sosial Brecht tidak muncul begitu saja. Upaya mencari gaya teater yang tidak illusionis sebagai altematif terhadap realisme konvensional telah dilakukan orang sebelumnya. Simbolisme dan Ekspresionisme yang dirintis oleh Stindberg dan tokoh-tokoh di Jerman tahun 1920-an adalah bagian dari upaya itu. Meski demikian, upaya mereka masih memberi peluang bagi keterlibatan emosional dan identifikasi penonton terhadap tokoh-tokoh yang ada di atas pentas. Hal ini sangat berbeda dengan gaya teater Brecht yang menginginkan terjadinya jarak antara penonton, pemeran dan pentas, hingga penonton bisa tetap kritis.

sumber:  http://posstheatron.blogspot.com/2009/05/profil-posstheatron-garut.html

Konstantin Stanislavsky


Konstantin Stanislavsky lahir di Moskow pada 5 Januari 1863 dengan nama lahir Konstantin Sergeyevich Alekseyev . Ayahnya, Sergei Alekseyev merupakan seorang pedagang yang kaya. Ibunya, Elita Vasilevna ialah seorang keturunan Prancis-Rusia. Neneknya merupakan seorang aktris teremuka di Paris. Stanilavsky tumbuh dengan lingkungan dengan dua bahasa, dan ia menerima dan terbuka akan seni dan teater, ia belajar piano dan bernyanyi, dan menmpilkan penampilan amatir di rumahnya bersama adik laki-lakinya dan dua saudarinya.
Stanislavsky belajar bisnis dan bahasa di Lasarevsky Institute, yang merupakan sekolah swasta paling bergengsi di Moskow. Dia tidak lulus, dia justru melanjutkan pendidikan dirinya sambil melakukan perjalanan di beberapa negara Eropa dan belajar di perpustakaan-perpustakaan dan museum-museum. Akhirnya, Stanislavsky bergabung dalam perusahaan ayahnya dan menjadi pemimpin perusahaan ayahnya, perusahaan Alekseev dan asset lainnya. Ia menjadi seorang pengusaha yang sukses. Selama tahun 1880-an, Stanislavsky membuat keberuntungan di bisnis dan perdagangan internasional, ia mendapat penghargaan medali emas di pameran dunia di Paris. Di waktu yang sama, ia merupakan seorang patron seni yang aktif di Rusia. Pada tahun 1885, ia belajar acting dan directing di Maly Theatre di Moskow, dan mengambil nama panggung Stanislavsky.
Di usia 25 tahun, Stanislavsky telah dikenal sebagai aktor amatir. Dia membuat proposal pada Fyodor Sollogub dan Aleksander Fedotov (sutradara teater) untuk membangun suatu perkumpulan yang dapat menyatukan actor professional dan amatir dan juga para artis. Pada tahun 1888 ia mendirikan ‘Perhimpunan Seni dan Sastra’ di Moskow, dengan menggunakan surplus perusahaannya. Fedotov menjadi kepala bagian dramatic, Komissarzhevski menjadi kepala bagian operatic dan musik, dan Sollogob menjadi kepala bagian grafis seni. Untuk penelitian kurikulum perhimpunan tesebut, Stanislavsky mengahbiskan musim panas tahun 1888 untuk belajar kelas dan pertunjukan di Comédie-Française di Paris. Perhimpunan tersebut untuk menawarkan kelas seni dramatic, sejarah kostum, make-up, drama, sastra Rusia, estetis, dan menari.
Pada tahun 1898 Stanislavsky bersama temannya, Vladimir Nemirovich-Danchenko membentuk the Moscow Art Theatre (московский художественный театр) (MXT) dan mendapat status ‘teater akademik’ pada 1919 (MXAT). Teater ini dibuka pada 14 Oktober 1898 dengan pementasan “Tsar Fedor Ivanovich” sebuah drama oleh Aleksei Tolstoy. Kelahiran MXT yng sebenarnya terkait dengan drama yang dibuat Anton Chekov (“The Seagull” ,1898; “Uncle Vanya”, 1899; “Three Sisters, 1901; “The Cherry Orchard”, 1904”) dan juga Maxim Gorky (“The Pretty Bourgeoisei” dan “Lower Depths”, 1902).
Selama pementasan-pementasan drama tersebut berlangsung, terbentuk suatu tipe baru actor, yaitu hati-hati mengkomunikasikan kualitas psikologi dari pahlawan, prinsip-prinsip arah terbentuk, ensemble actor diciptakan seperti suasana untuk tampil. MXAT merupakan teater pertama di Rusia, yang mempraktekan reformasi repertoar, menciptakan lingkungan sendiri, dan yang bertahan karena perkembangan bertahap dari penampilan ke penampilan lainnya.
Di MXAT ini Stanislavski mulai mengembangkan, berdsarkan tradisi realis dari Aleksandr Pushkin. “Sistem”-nya ini atau sering disebut Metode Stanislavski dipusatkan pada pengembangan watak dan dunia panggung yang realistis. Para actor diajarkan untuk memanfaatkan “memori afektif” agar dapat secara wajar menggambarkan emosi seorang watak. Untuk melakukan hal itu, para actor dituntut memikirkan sebuah momen dalam hidup mereka sendiri ketika mereka merasakan emosi yang diinginkan dan kemuda memainan kembali emosi tersebut di dalam peran guna mencapai penampilan yang lebih sungguh-sungguh. Metode Stanilasky mengembangkan sebuah pendekatan sistematis terhadap pelatihan para actor untuk mengembangkan dari dalam dirinya ke luar. Stanislavsky mengusulkan agar para actor mempeljari dan mengalami emosi-emosi dan perasaan-perasaan subjektif dan mewujudkannya kepada para penonton melalui sarana-sarana fisik dan vocal, yang juga dikenal sebagai bahasa teater.
Metode Stanislavsky berkembang melalui pengalamannya sebagai actor, sutradara dan pengusaha. Dia terus-menerus memperbaharui metodenya melalui pembelajaran interdisiplin, menyerap dari berbagai sumber dan masukan.
Sebagai seorang actor, Stanislavky membintangi beberapa drama klasik. Pertunjukkan panggungnya yang paling menonjol seperti Othello dalam the Shakeseare’s “Othello” dan berperan sengai Gayev dalam Kebun Cheri karya Chekov, yang diakui oleh para kritikus dan dicintai masyarakat. Siswanya sendiri mengtakan bahwa Stanislavski merupakan mitra yang sangat nyaman di atas panggung, karena aktingnya yang professional, jujur dan reciprocativ. Pada saat yang sama, ia bisa sangat menuntut panggung karena sandarnya yang tinggi, terutama selama latihan yang panjang dan ketat.
Setelah Revolusi 1917, pabrik dan semua property bisnis Stanilavsky dinasionalisasikan oleh Komunis Soviet, namun ia selamat dan diizinan untuk memiliki rumah di Moscow. Stanilavsky tetap menjadi direktur MXAT sampai akhir hayatnya. Berkat Stanislavky, MXAT sering dihadiri oleh Joseph Stalin dan orang-orang berkuasa di Soviet lainnya. Namun saat itu MXAT menjadi sangat populer karena intelektual Rusia diperlukan sebuah oase budaya untuk melarikan diri dari kenyataan Soviet yang suram.
Dalam tahun-tahun berikutnya, Stanislavsky menulis sebuah buku berjudul “An Actor Prepares” (Persiapan-Persiapan seorang Actor). Selama tahun 1930-an, ia mengarahkan beberapa produksi pementasan klasik rusia, seperti “Na Dne” (Lower Depths) oleh Maxim Gorky, “Tsar Fedor Ivanovich” oleh Anton Chekov, dan pementasan lainnya di MXT.
Stanislavsky meninggal karena gagal jantung pada 7 Agustus 1938 di Moscow. Setelah ia meninggal, pementasan teaternya diadaptasi menjadi film hitam putih dimana ia dikreditkan sebagai direktur teater aslinya.
Sumber Referensi:
  1. www.imdb.com
  2. www.mxat.ru/english/history/
  3. www.pbs.org

Transisi Teater Tradisional, Modern, ke Kontemporer



Sandiwara, Drama, dan Teater
Kata teater barangkali sudah tidak menjadi asing lagi di telinga masyarakat perkotaan, hal ini disebabkan oleh hadirnya akademisi, pelaku, serta komunitas teater itu sendiri. Teater terus diperkenalkan melalui pementasan-pementasan yang mengisi gedung-gedung pertunjukan, serta ruang public (pasar, pelataran, galeri, taman, mall, jalan raya, pinggiran sungai, dan lain sebagainya) juga digunakan untuk pementasan. Kehadiran teater juga diperkuat dengan diberlakukannya ekstra kurikuler dalam kurikulum pelajaran siswa di sekolah-sekolah, teater dikhususkan untuk pengembangan diri anak (siswa).

Sebelum kata teater, masyarakat kita lebih mengenal istilah drama atau sandiwara. Pengguanan kata ini terus bergeser sampai teater sudah diperuntukkan untuk pementasan drama atau sandiwara. Teater berasal dari kata  teatron (Bahasa Yunani) artinya tempat melihat (Romawi, auditorium; tempat mendengar). Atau, area yang tinggi tempat meletakkan sesajian untuk para dewa. Amphiteater di Yunani adalah sebuah tempat pertyunjukan. Bisa memuat sekitar 100.000 penonton. Teater bisa juga diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru panggung), sekaligus kegiatannya (isi pentas-peristiwa). Sementara itu, ada juga yang mengartikan teater sebagai semua jenis dan bentuk tontonan (seni pertunjukan tradisional-rakyat-kontemporer), baik dipanggung tertutup maupun di arena terbuka. Jika peristiwa tontonan mencakup ‘’Tiga Kekuatan’’ (pekerja-tempat-penikmat), atau ada ‘’Tiga Unsur’’ (bersama-saat-tempat) maka peristiwa itu adalah teater (Nano, 2011).

Sedangkan drama adalah; suatu karangan sastra, baik lisan maupun tulisan yang memiliki dialog, keterangan laku dan tempat yang dipertunjukkan di atas pentas. Namun melalui proses yang amat panjang istilah teater lebih melekat pada seni pertunjukan yang berbentuk drama (Yudiaryani, 2004). Karena ia merupakan salah satu genre seni yang memiliki dimensi kekompleksitasan yang ada dalam seluruh genre seni. Teater dibangun oleh unsur sastra, musik, kareografi gerak atau tarian, rupa, suara, dan seni yang lain. Bila kesenian diidentikkan sebagai maniatur budaya, maka teater juga disebut sebagai maniatur kesenian secara kekompleksitasannya. Peristiwa teater disebut juga peristiwa budaya sepertihalnya peristiwa-peristiwa kesenian lainnya. Teater tak lain adalah jendela atau jalan masuk untuk melihat suatu kebudayaan (Sahrul 2008). Sandiwara, asli Indonesia, berasal dari kata sandi dan wara. Sandi adalah rahasia atau misteri, dan wara, artinya berita. Sandiwara berarti rahasia atau misteri yang dibertakan kepada penonton. Kata sandiwara dicetuskan oleh Sri Mangkunegara VII untuk menggantikan istilah dalam Bahasa Belanda, toneelstuk (Nano, 2011).

Tradisi, Modern, dan Kontemporer
Teater di Indonesia, dapat juga dilihat dari jenis teater menurut perkembangannya. yaitu teater tradisi, teater modern, dan teater kontemporer. Kasim Achmad dalam bukunya, Mengenal Teater Tradisional Indonesia (2006:4-5) mengatakan bahwa teater tradisional merupakan suatu bentuk teater yang lahir tumbuh dan berkembang di suatu daerah etnik yang merupakan hasil kreativitas kebersamaan dari suatu suku bangsa di Indonesia. Berakar dari budaya etnik setempat dan dikenal oleh masyarakat lingkungannya. Teater tradisional dari suatu daerah umumnya bertolak dari sastra lisan yang berupa pantun, syair, legenda, dongeng dan cerita-cerita rakyat setempat. Teater tradisional lahir dari spontanitas kehidupan dan dihayati masyarakat lingkungannya, karena ia merupakan warisan budaya nenek moyangnya. Warisan budaya guyub (kebersamaan dan kekeluargaan) yang sangat kuat melekat pada masyarakat di Indonesia.

Bentuk kesenian teater tradisional yang ada di Indonesia, baik di Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Sumatera Barat, Riau dan sebagainya, memiliki kesamaan pada proses kelahirannya begitu juga di Riau. Teater demikian berkembang benar-benar di tengah masyarakat itu sendiri. Karena penceritaan yang dihadirkan sangat dekat dengan persoalan yang dialami oleh masyarakat setempat. Penceritaan itu menimbulkan interaksi sosial yang sangat komunikatif dan membangun silaturrahmi.

Bentuk-bentuk pertunjukan tradisional ini dipertegas oleh Jakob Soemardjo dalam buku Perkembangan Teater dan Drama Indonesia (1997:18-19) bahwa unsur-unsur teater rakyat yang pokok adalah cerita, pelaku dan penonton. Unsur cerita dapat diperpanjang atau diperpendek menurut respon dan suasana penontonnya. Cerita dibawakan dengan akting (pemeranan) atau dengan menari dan menyanyi. Para pelaku berkostum sesuai dengan referensi budaya masyarakatnya, meskipun ada acuan terhadap tradisi lama.

Ciri-ciri umum teater rakyat ini adalah : (1) Cerita tanpa naskah dan digarap berdasarkan peristiwa sejarah, dongeng, mitologi atau kehidupan sehari-hari; (2) Penyajian dengan dialog, tarian dan nyanyian; (3) Unsur lawakan selalu muncul; (4) Nilai dan laku dramatik dilakukan secara spontan serta dalam satu adegan terdapat dua unsur emosi sekaligus, yakni tertawa dan menangis; (5) Pertunjukan menggunakan tetabuhan atau musik tradisional; (6) Penonton mengikuti pertunjukan secara santai dan akrab dan bahkan tak terelakkan adanya dialog langsung antara pelaku dan publiknya; (7) Mempergunakan bahasa daerah; dan (8) Tempat pertunjukan terbuka dalam bentuk arena (dikelilingi penonton). Ciri-ciri teater tradisional seperti yang telah dijelaskan, dapat kita lihat di wilayah Riau yang juga memiliki teater tradisional, seperti; Bangsawan, Makyong, Dulmuluk, Mamanda, Mendu, dan Randai. Dari teater tradisional yang telah hadir di tengah masyarakat, mengalami perubahan, pergeseran nilai dan budaya, hal ini tentunya telah dipengaruhi oleh banyak faktor.

Perubahan itu menyentuh berbagai macam bidang, baik itu dari sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan termasuk di dalamnya kesenian. Perubahan itu membawa kita untuk mencoba membaginya, ada masyarakat tradisional (pedesaan) dan ada masyrakat modern (perkotaan). Perubahan yang terjadi ditengah masyarakat juga mempengaruhi perubahan kesenian di tengah masyarakat, termasuk di dalamnya teater.

Teater modern adalah produk budaya kota. Munculnya masyarakat kota yang pluralistis, ekonomis, dan modernis, mengakibatkan munculnya permintaan bentuk teater yang sesuai dengan aspirasi budayanya. Dengan percepatan budaya luar atau barat yang begitu cepat, barangkali kecepatannya melebihi speedy yang sangat mendesak. Percepatan inilah yang kemudian memaksa kita untuk dapat mengimbangi dan menetralisir lewat seni dan budaya. Teaterpun ikut bergerak lewat perubahan yang dialaminya. Teater modern lebih menekankan referensinya pada teater Barat.

Teater tradisi memang berbeda dengan teater modern dalam beberapa hal. Dramaturginya pun lain. Teater tradisi lebih merupakan upacara atau peristiwa bersama ketimbang pertunjukan. Tidak ada pemisahan antara penonton dengan pertunjukan. Sedangkan teater modern, walaupun awalnya adalah sebuah upacara, telah menjadi murni seni pertunjukan, penonton dan tontonon dibuat terpisah.

Teater modern suatu disiplin ilmu yang baku, memiliki hukum-hukum panggung yang tidak boleh dilanggar. Memerlukan teks naskah yang tertulis, sedangkan teater tradisional bisa saja secara spontanitas dan tidak perlu ditulis. Setelah itu teater modern akan menjalani proses latihan yang amat panjang, sedangkan teater tradisional bisa saja satu jam sebelum pertunjukan. Segi artistik harus dipikirkan dan dipertimbangkan sejauh mungkin, seperti penataan pentas (setting), pencahayaan (lighting), rias dan busana. Sedangkan teater tradisional bisa pada saat itu saja. Kemudian tema teater modern lebih pada fenomena atau isu-isu sosial yang terjadi di tengah masyarakat.

Butuh waktu yang sangat panjang untuk memproduksi suatu pementasan. Proses yang biasa dilakukan oleh kelompok teater modern dimulai dari pemilihan naskah, menganalisis teks naskah, olah vokal, olah tubuh, reading, lepas naskah, blocking, penggunaan property, penghalusan, pemantapan, glady resik, dan puncaknya sampai ke pertunjukan. Tidak hanya sampai disitu saja, setelah pertunjukan usai perlu adanya diskusi atau kritikan dari penonton untuk perbaikan pada pertunjukan berikutnya.

Dalam teater modern sangat dibutuhkan suatu kelompok yang militan dan konsisten untuk tetap bertahan. Provinsi Riau, Kota Pekanbaru, Rengat, Dumai, Kampar, Pelalawan, dan kota lainnya juga sudah melahirkan banyak kelompok teater yang turut memberikan apresiasi dan kontribusi terhadap masyarakat seni pertunjukan. Idrus Tintin salah satu tokoh teater Riau, lahir dan dibesarkan di Rengat pada 10 November 1932 dan di daerah inilah Idrus Tintin mengawali kreatifitas kesenimanannya lewat teater. Kemudian Idrus Tintin dikenal sebagai tokoh teater modern Riau yang diperingati pada 10 November.

Selain Idrus Tintin, Taufik Effendi Aria juga mengisi dan mengawali teater modern di Riau. Taufik dengan kelompok teaternya di Rengat telah mengisi panggung teater di wilayah Indonesia. Pada tahun 1967, M Simanjuntak telah dinobat sebagai aktor terbaik Provinsi Riau. Kegairahan teater semakin dipermantap dengan kehadiran Salimi Yusuf dan Mailiswin merupakan tokoh teater di Riau.

Setelah kita mengenali teater modern, maka sampailah kita pada jenis teater kontemporer. Teater kontemporer adalah teater yang banyak mengadakan eksperimen. Banyaknya perbandingan, pengalaman dan pengetahuan dalam menggauli teater, baik teater tradisi, teater modern (barat), dan juga teater Asia. Untuk menggauli teater kontemporer ini, dibutuhkan kreatifitas dan terus menggauli esensi dari teater itu sendiri. Inilah yang dimaksud oleh Sahrul N pada Pekan Apresiasi Teater III se-Sumatera di Padangpanjang, tentang croos culture. Terjadi suatu percampuran konsep antara teater rakyat tradisional dengan teater modern yang datang dari Barat atau pengaruh teater yang lainnya. Teater yang seperti ini sering mengungkapkan konsep-konsep baru, seperti yang pernah dilakukan oleh Putu Wijaya dengan konsep teater teror-nya.

Teater kontemporer adalah teater yang tak hanya melawan kekuasaan mutlak bahasa teater yang sudah mendapat pengesahan di dalam pasar dan hati masyarakat. Teater eksperimental adalah juga teater yang setiap kali berontak pada dirinya sendiri yang sudah terjebak dalam bahasa yang diam-diam mengandung opium kemapanan.

Teater kontemporer adalah teater yang selalu menolak untuk tahu. Teater yang sanggup mengingkari dirinya setiap kali. Teater yang anti pada statusquo. Teater yang tak ingin mengada. Teater yang tak pernah diam. Teater yang selalu dalam keadaan bergerak, bimbang, meragukan, merindukan dan akhirnya mampus dalam mencari sesuatu yang belum ada, tidak ada atau mungkin tidak akan pernah ada.

Walhasil teater yang nihil. Teater yang zero. Namun juga sekaligus teater yang amat penuh, ambisius dan pretensius. Teater kontemporer adalah langkah ke zone terapung, di mana ruang berlapis-lapis dengan dimensi yang tak terjangkau. Di mana kebenaran hadir dalam jutaan nuansa yang pelik dan membingungkan siapa saja yang menginginkan kemutlakan. Satu langkah lagi, satu langkah kecil lagi untuk mendekati ‘’Misteri’’ yang semakin banyak kita ketahui, semakin membuat kita ragu-ragu tentang kebenaran yang ada di kepala kita.

Teater yang membuat manusia lebih menyadari keadaannya yang tak berdaya. Teater yang mengingatkan manusia pada dirinya sebagai noktah yang tak punya hak dan kekuatan, yang tak kekal, yang pasti akan musnah. Apalagi kalau tidak melakukan apa-apa. Teater eksperimental adalah sebuah idiologi tontonan. Adalah sebuah ritus. Adalah sebuah ajaran kebijakan.

Sudah lama dunia ini dibedakan dengan Barat dan Timur. Masa lalu masa depan. Sudah lama nilai-nilai dipatok dalam dua gawang. Buruk dan baik. Hitam dan putih. Sudah lama arah disederhanakan menjadi kanan dan kiri. Depan dan belakang. Atas dan bawah. Tradisional dan modern. Pertunjukan tradisional dan pertunjukan modern.

Menyederhanakan persoalan, biasanya selalu dirasionalisasi dengan alasan-alasan keren yang filosofis atau pun politis yaitu menotok inti persoalannya, sehingga terjadi hantaman yang telak, mendalam dan tuntas menjawab seluruh persoalan. Sebab dengan hanya dua kategori semacam hitam dan putih, segalanya dengan amat mudah diatur. Itu refleksi khas, spontan, mentalitas birokrat, yang menganggap semua adalah barang, yang harus disusun dengan teratur, agar memudahkan untuk memanfaatkannya.

Teater kontemporer yang saat ini selalu dipentaskan, digaungkan, dan dinikmati. Pada dasarnya juga berangkat dari tradisi dan modern itu sendiri. Segalanya juga disebabkan oleh perubahan sosial masyarakat yang selalu dinamis. Dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan mengalami perubahan. Leslie White (1969) mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan lingkungan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas pendukungnya. Sependapat dengan itu Haviland (1993 : 251) menyebut bahwa salah satu penyebab mengapa kebudayaan berubah adalah lingkungan yang dapat menuntut kebudayaan yang bersifat adaptif. Dalam konteks ini perubahan lingkungan yang dimaksud bisa menyangkut lingkungan alam maupun sosial.

Berkaitan dengan perubahan kebudayaan, Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat merupakan bagian dari perubahan kebudayaan (Poerwanto, 2000 : 142). Teaterpun bertanggung jawab untuk mempersoalkannya kembali ke atas panggung pertunjukan, agar perubahan sosial bisa dikoreksi, dikritisi, dicermati, dan dikelola kembali.

Teater Sebagai kendaraan
Apapun jenis teater yang digeluti, baik itu teater tradisi, teater modern, atau teater kontemporer. Perlu dipertanyakan keseriusan masyarakat pendukungnya, untuk terus mencari dan mengeksplorasi segala sesuatu yang berkaitan dengan teater. Mulailah membuka catatan-catatan yang sudah lama tersimpan, kumpulkanlah orang-orang yang ingin mengaplikasikan dirinya lewat teater, dan bentuk komunitas-komunitas teater disetiap tempat. Karena, dengan banyaknya komunitas akan terjadi proses dealektika antar komunitas. Bagi pelaku teater yang telah memiliki komunitas, mulailah untuk merapikannya kembali.

Niatkanlah orientasi berteater untuk meyakini bahwa apa yang telah kita lakukan itu, kita persembahkan untuk kebajikan hidup bersama dengan turut menyelenggarakan pencerdasan masyarakat melalui teater, pencerahan, refleksi, sosial-politik, dan merawat kehidupan spritual dimana kita berada. Karena apa yang telah kita kerjakan dan cita-citakan bukanlah untuk pribadi kita sendiri, melainkan untuk lingkungan dan masyarakat luas. Tinggal lagi yang kita butuhkan support dari setiap lapisan masyarakat, lembaga kesenian, lembaga pendidikan, dan pemerintah, agar dapat mengorganisir untuk mengakomodir seluruh kreatifitas yang ada.***


Husin
Ketua Prodi Teater dan Film Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR)