REALISME
dalam drama atau teater sangat berhubungan erat dengan tradisi drama
atau teater realis di Barat. Drama atau teater realis lahir dari
dinamika sejarah masyarakat Barat dan berhasil mencapai taraf proses
konvensionalisasi yang mapan. Di Inggris, drama realis tumbuh dan
berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat
Inggris pada abad XII yang dimotori kelas borjuasi.Berkaitan
dengan seni peran dapat diamati pada periode besar teater Elizabethan.
Perkembangan dan pertumbuhan imperius-Inggris membuka kesempatan bagi
kelompok saudagar dan pemilik-pemilik toko untuk berkembang secara
ekonomis dan politis. Makin lama mereka semakin kuat dan akhirnya tumbuh
pula harga dirinya sebagai kelas tersendiri. Di dalam dunia teater,
pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon
raja-raja, bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka
sendiri. Maka tidak sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudagar dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan tidak hadir.
Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme. Daya lain yakni Ilmu Pengetahuan: teori
Evolusi Darwin, teori psikologi sebelum Sigmund Freud, maupun
masalah-masalah sosial yang menantang pendekatan ilmiah pada masa-masa
itu mendorong tumbuhnya suatu sikap dan cara memandang kehidupan secara
khas. Sikap dan pandangan ini secara tak langsung menyatakan bahwa
kehidupan dan dunia dapat dipahami melalui pengamatan dan penggambaran
obyektif. Para Raja dan kaum bangsawan sudah tersisih dari kehidupan,
maka mereka pun tersisih dari pentas pula.
Kebangkitan borjuasi ternyata juga membangkitkan individualisme.
Tokoh-tokoh pemikir yang mewakili kelas borjuasi seperti Hobbes,
Montesquieu dan Rousseau langsung atau tidak langsung mengungkapkan
pandangan tentang supremasi individu dalam masyarakat dan menekankan
pentingnya pengaturan hubungan (politis) individu dengan masyarakat dan
negara. Pandangan demikian dikenal dalam masyarakat yang menentang dan membebaskan diri dari pandangan komunal-feodal.
Secara mudah dapat dipahami mengapa dalam realisme individu demikian menonjol; justru individu sebagai protagonis yang dengan tindakannya menimbulkan konflik dengan lingkungannya, dengan masyarakatnya yang melahirkan drama.Sehingga
tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa realisme adalah teater
tokoh, teater individu. Realisme berbicara Dr. Stocmann dalam Musuh Masyarakat karya Hendrik Ibsen, Willy Loman dalam Matinya Pedagang Keliling karya Arthur Miller, Jane, Fritz, Corrie, Willem dalam Perhiasan Gelas
karya Tennesse William. Penulis pernah memainkan tokoh Fritz, Doni Kus
Indarto memeranan Willem, Sari Nainggolan sebagai Corrie dan Sekar
Pamungkas sebagai Jane waktu studi Penyutradaraan II pada Jurusan Teater
ISI Yogyakarta di Kampus Utara Karangmalang (1987).
Individu-individu
yang hadir di atas pentas mewakili dirinya sendiri, mereka hadir dalam
keamungan atau keunikan di dalam pikiran, perasaan, temperamen dan
pandangan hidup. Mereka adalah manusia darah daging yang dapat kita
temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam realisme, protagonis dan antagonis merupakan
sarana pelaksana konflik. Ia adalah tokoh yang bertentangan dengan
setengah pihak lainnya, baik lingkungan sosial, spiritual atau alam. Ia
berusaha mengalahkan, menundukkan lawannya dan menyadari keterbatasan,
kelemahannya dengan tabah dan agung maka terjadilah tragedi. Jika mereka dapat menerima kelemahan dan keterbatasannya dengan tertawa maka lahir komedi. Apapun yang terjadi pihak protagonis dan antagonis merupakan individu yang menentukan.
Teater realisme sifatnya sastrawi (literrer).
Bahasa sangat menonjol sehingga terkesan verbal. Hal ini dapat
dimengerti karena hanya dengan bahasalah cocok untuk mengungkapkan yang
bersifat intelektual dan analitik. Seperti halnya kegiatan masyarakat
Eropa. Kecenderungan intelektualitas ini diwakili tokoh realisme dari
Inggris, Shaw dimana ia menulis dialog sebagai disksi dan debat.
Gambaran obyektif tentang dunia, kecenderungan menempatkan kedudukan
individu pada tempat yang sangat dominan serta kecenderungan memandang
hakikat drama sebagai konflik telah menggerakkan suatu proses
konvensionalisasi terhadap para penata panggung (stage, propertys dsbnya), gaya berperan dan
cara menulis naskah, proses konvensionalisasi ini mencapai kemapanannya
pada pertengahan akhir abad XIX, melalui -tokoh-tokoh seperti Ibsen, Chekov dan Stanislavsky
(Ferguson, 1956).Untuk itu dapat ditangkap bahwa realisme memuat
pandangan dunia, yang memandang dunia dan alam sebagai sesuatu sasaran
untuk ditaklukkan dan ditundukkan. Kemudian dimanfaatkan, dieksploatasi.
Awal abad XX terjadi perkembangan baru dalam kehidupan teater di Eropa.
Tokoh seperti Brecht, Artaud menolak aliran realisme.
Latar Kebangkitan
Realisme
bangkit seiring dengan tumbuh dan berkembang kelas, burjuis di Eropa.
Sejak jaman Renesan, dunia perdagangan di Eropa mulai maju.
Perlahan-lahan pengaruh dan kekuasan berpindah dari golongan aristokrat
pemilik tanah dan pedagang. Dampak yang muncul
pada dunia teater, kelas burjuasi tak ingin lagi menonton lakon
raja-raja, pangeran dan putri-putri Mereka ingin melihat diri mereka
sendiri. Fenomena ini menggerakan George Lillo menulis tentang magang,
pelacur dan saudagar dalam naskah saudagar dari London, atau Tragedi George Barnwell (1731). Naskah ini tidak menghadirkan satria-satria, putri-putri serta pahlawan-pahlawan dengan zirah mengkilap dan pedang bergemerincing.

Kebangkitan
kelas burjuasi merupakan salah satu sebab yang mendukung munculnya
realisme. Ada juga kekuatan lain yaitu perkembangan Ilmu pengetahuan.
Teori evolusi Darwin, Positivisme Auguste Comnte, serta teori-teori
psikologi Freud dan masalah-masalah sosial yang menentang pendekatan
secara ilmiah, menimbulkan suatu cara pandang yang khas pada kehidupan.
Sikap
dan cara pandang ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kehidupan
dan dunia dapat dipahami melalui pengamatan dan penggambaran obyektif.
Peri-peri dan tukang tenung berada di luar dunia obyektif. Dengan
sendirinya para pangeran dan para putri sudah saatnya tersisih dalam
kehidupan panggung.
Munculnya
kelas burjuasi dan perkembangan llmu Pengetahuan abad XIX, akhirnya
membangkitkan suatu pola hidup individualisme. Tokoh-tokoh pemikir yang
mewakili kelas burjuasi seperti Hobbes, Montesquieu dan Rousseau,
langsung atau tidak langsung mengungkapkan pandangan tentang supremasi
individu dalam masyarakat. Mereka menekankan pentingnya pengaturan
hubungan (politis) individu dengan masyarakat dan negara. Pandangan ini
bukan saja tidak dikenal dalam masyarakat komunal-feodal, akan tetapi
justru menentang dan membebaskan diri dari pandangan komunal-feodal
tentang individu. Oleh karena itu mudah dipahami jika dalam pentas
realisme, individu-individu dibuat sangat menonjol keberadaannya.
Individu sebagai tokoh protagonis dalam tindakannya bisa menimbulkan
konflik dengan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan tokoh-tokoh dalam
drama Klasik dan Romantik yang dilandasi semangat mitis ingin menegakkan
moral dan kebenaran. Para tokoh yang dimunculkan dalam drama Romatis
bisa dikatakan sebagai manusia setengah dewa
Romantikisme
secara mencolok menampilkan konflik antara kejahatan dan kebaikan, yang
kelihatannya diwarisi dari mitos-mitos Yunani Kuno sebagai tragedi
kehidupan. Dalam Romantikisme diciptakan sikap yang kontras dalam
menanggapi kebenaran dan dosa, antara roh dan nafsu kedagingan. Cinta
juga selalu menjadi bagian yang terus dipertahankan ketika berhadapan
dengan kekhaosan hidup. Romantikisme tidak ragu untuk mengafirmasikan
cinta dan pengorbanan sebagai tindakan heroik. Manusia semacam
Robin Hood yang hidup di hutan dengan kawan rampoknya, yang
dikejar-kejar penguasa tapi tetap memperjuangkah rakyat miskin, adalah
gagasan tokoh dari abad Romantikisme.
Realisme Konvensional
Setelah
digambarkan bahwa realisme lahir dari dinamika kehidupan masyarakat
Barat yang menekankan obyektifitas pengamatan, maka yang nampak di atas
panggung kemudian
ialah sebuah kehidupan yang
diusahakan sesuai dengan aslinya. Dinyatakan oleh Kernodle bahwa
realisme menyajikan gagasan untuk menampilkan suatu bagian dari
kehidupan. Di atas panggung akan terbayang sepotong kehidupan, sehingga
jagad panggung merupakan penyajian kembali kehidupan indrawi. Secara
teknis pementasan di atas panggung diusahakan menggambarkan kehidupan
sering
mungkin. Pentas dan perlengkapan panggung menggambarkan ruang duduk
suatu keluarga, atau ruang kantor dan ruang lain yang paling umum
dilihat oleh penonton. Kalau cerita mengenai sejarah, misalnya tentang
Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, maka ruang dan keseluruhan
perlengkapan pentas disesuaikan sedekat mungkin dengan bentuk dan gaya
zaman itu. Pertunjukan teater semacam ini dikatakan oleh Saini (1991)
sebagai model teater realisme konvensional.
Selain properties, setting dan kostum yang secara
pasti berkorespondensi dengan realita, realisme konvensional juga
menolak gaya akting yang berlebihan. Pencetus utama untuk gaya berperan
realis adalah Konstantin Sergeyevich Stanislavsky (1865-1938). Stanislavsky menekankan arti penting gaya berperan yang wajar, tidak dibuat-buat dan menolak gaya bicara deklamatoris. Dasar dari pemeranan ini mengungkapkan tingkah laku manusia sesuai dengan penernuan-penernuan di bidang psikologi.
Pendekatan
pemeranan Stanislavsky dengan metode psikologi sangat sesuai untuk
menganalisa tokoh-tokoh yang diciptakan dalam lakon realisme.
Tokoh-tokoh dalam drama ini hadir sebagai individu-individu yang ada
dalam keseharian dengan karakter penuh kontradiksi. Mereka bukan lagi
para pangeran dan putri yang hidup dalam suasana glamour istana. Mereka
adalah manusia darah daging yang harus berjuang keras dalam situasi
sosial abad XIX dengan adanya revolusi industri.
Pada
masa itu kemiskinan dan kejahatan telah merajalela lebih hebat daripada
masa sebelumnya. Ide-ide tentang kebebasan dan persaudaraan kaum
romantik telah runtuh. Akhirnya para tokoh yang diciptakan dalam lakon- lakon realisme adalah mereka yang bertentangan dengan lingkungan sosial, spiritual, maupun alam.
Dr.
Stockman, dalam Musuh Masyarakat karya Henrik Ibsen, adalah salah satu
contoh tokoh yang harus terpojok karena melawan lingkungan sosialnya.
Meskipun ia benar narnun hukum masyarakat dan pemerintah menentukan lain. Penemuan adanya virus yang menyebar dalam pemandian kota oleh Dr.
Stockman telah membuat resah masyarakat dan pemerintah Tempat pemandian
itu adalah sumber pendapatan daerah. Jika benar bahwa air telah tercemar maka pemandian tersebut harus ditutup. Usaha ini dengan sendirinya merugikan pemerintah dan masyarakat. Akhirnya kebenaran yang diternukan oleh Dr. Stockman diangap fitnah, dan dia harus disingkirkan.
Drama-drama
Ibsen menekankan gambaran watak manusia. Obsesinya sekitar pengaruh
nilai-nilai palsu dalam masyarakat terhadap kehidupan pribadi yang harus berbuat secara palsu pula. Contoh kepalsuan ini sangat nampak dalam naskahnya yang lain, yaitu Hantu-Hantu. Naskah ini mengisahkan usaha Ny. Alving untuk menutupi masa lalu suaminya yang
penuh noda. la berusaha menghilangkan noda dengan mendirikan RumahYatim
dan menyumbang Gereja. Narnun bisakah hal ini menghapus kebobrokan
suaminya? Ternyata tidak. Anak Ny. Alving tetap hadir sebagai pemuda
yang mentalnya terbelakang. la terserang penyakit sipilys, turunan dan
bapaknya. Bayang-bayang hitam masa lalu ternyata tak bisa dihilangkan
dengan mudah.
Cukup beralasan jika akhirnya Saini K.M beranggapan bahwa teater realisme adalah teater tokoh, teater individu. Individu sebagai protagonis dengan
segala tindakannya menimbulkan konflik dengan Lingkungannya,
masyarakatnya, yang menimbulkan drama. Begitu pentingnya
protagonis-individu ini, hingga dalam realisme ia mengambil setengah dari pentas sebagai ajang konflik.
Realisme konvensional juga menanarnkan ciri-cirinya pada gaya penulisan sastra lakon. Lakon realisme konvensional dituntut untuk menggunakan struktur yang terjalin dengan pola sebab-akibat. Tuntutan tersebut cukup beralasan karena
lakon realis harus menampilkan peristiwa secara rasional. Alur cerita
semacam ini cenderung mewujudkan struktur yang dikenal dengan nama
Struktur Piramida Aristoteles. Struktur ini memiliki unsur- unsur yang berturut-turut meliputi eksposisi (pembukaan), komplikasi (keruwetan), krisis (penggawatan), klimaks (puncak kegawatan), resolusi (penguraian), konklusi (kesimpulan). Jika digambarkan dalam sebuah diagram, maka rumusan di atas berbentuk seperti bangun segitiga, dengan klimaks sebagai puncaknya.
Setelah dirintis oleh George Lillo, Henrik Ibsen menempati
kedudukan yang terhormat dalam hubungannya dengan realisme
konvensional. Dialah puncak terpenting aliran realisme. Pada Ibsen
metode dan tujuan realisme diterapkan sebaik-baiknya. Pada tahun 1875
Ibsen mulai menulis naskah dan tahun tersebut dianggap sebagai permulaan
teater modern.
Naskah-naskah
Ibsen sangat berbeda dengan kecenderungan penulisan naskah sebelumnya.
Pada Musuh Masyarakat atau Hantu-Hantu misalnya, tidak terlihat adanya
penulisan yang bertele-tele, dipenuhi bumbu-bumbu khotbah dan kata-kata
romantis lainnya. Dialog-dialog tertulis seperti
percakapan keseharian. Pola ini akan mengarahkan pemeran untuk berbicara
tidak seperti berdeklamasi. Akhirnya model penulisan semacam itu
disyahkan sebagai gaya realisme konvensional. Dapatlah dipahami kalau
Ibsen tidak saja dianggap sebagai Bapak Realisme tetapi juga sebagai
Bapak Teater Modern, karena realisme konvensional adalah salah satu
gejala modernisme.
Realisme dan Naturalisme
Ternyata
pemahaman orang pada realisme sangat beragam dan memancing perdebatan.
Tidak selamanya kehidupan nyata dapat ditransformasikan ke atas
panggung. Hal ini berangkat dari suatu kesadaran bahwa pandangan dan
interpretasi terhadap dunia nyata harus diseleksi. Konsep realisme tenis
bergulir dan perlu didefinisikan kembali. Kemudian muncullah berbagai
varian dari realisme. Salah satu varian itu ialah naturalisme.
Menurut Jakob Sumardjo, naturalisme merupakan sisi ekstrim dari Gerakan Realisme. Pada
dasarnya naturalisme mempercayai bahwa kebenaran dunia dapat diketahui
dengan lima indra manusia. Tetapi naturalisme, selain menuntut
pendekatan ilmiah juga percaya bahwa kondisi manusia sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan dan keturunan.
Seiring dengan merebaknya gerakan naturalisme tumbuh pula kota-kota besar yang menjadi tempat pernukiman kaum urban yang kumuh (slum)
akibat ekploitasi industri. Kemiskinan, kesengsaraan, kemelaratan serta
kemerosotan moral menjadi persoalan yang kompleks. Kondisi ini memicu
para naturalis untuk mengungkapkan kemerosotan dan kebobrokan masyarakat
golongan bawah. Drama-drama mereka penuh dengan kebusukan manusia dan
hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupan.
Naturalisme
menolak tampilan drama yang hanya didasarkan pada perkiraan terhadap
kehidupan nyata. Setiap sajian drama naturalis adalah usaha
mempraktekkan kehidupan nyata itu sendiri, bukan idealisasi kenyataan
hidup. Drama naturalis adalah sepotong kehidupan nyata yang didasarkan
pada kenyataan hidup yang keras dan kasar. Kenyataan yang
ditranformasikan dalam pentas naturalisme misalnya drama sebabak Andre
Antoine, Tukang Jagal, menghias pentas dengan daging-daging sapi
sebenarnya seperti toko daging para penjagal dalam realita.
Meskipun disebut
sebagai varian dari realisme, naturalisme mempunyai kecenderungan
estetika yang sangat berbeda dengan realisme Realisme dipandang lebih
obyektif daripada naturalisme. Dalam realisme segalanya digambarkan
seperti keadaan yang sebenarnya, seperti yang dilihat oleh mata, tidak
kurang tidak lebih. Pada seni rupa, seniman seolah-olah suatu cermin
yang membayangkan kembali kehidupan sekitar dengan wama-wama,
garis-garis dan gerak-geriknya. Seorang pengarang realis melukiskan
tokoh-tokohnya dengan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sampai pada
yang sekecil-kecilnya, dengan tidak memihak memberikan simpati atau
antipati pada tokoh-tokohnya. la membayangkan tokoh-tokohnya seperti
yang sungguh-sungguh dikenalnya. Pengarang atau pelukis adalah penonton yang obyektif. la tidak memperbagus dan memperjelek orang-orang dan keadaan-keadaan yang dilukisnya
Sedangkan
oleh kaum naturalis, alam dilihat melalui kehangatan rasa. Dunia luar
tak bisa dilukiskan seperti apa adanya. Pusat pribadi
seniman
harus turut bicara. Singkat kata dalam naturalisme sangat berkuasa
pandangan dan visi seniman sendiri atas alam. Suatu pandangan yang
mengandung nafsu hidup yang besar.
Membahas
naturalisme mengingatkan kita pada karya-karya Raden Saleh atau Basuki
Abdullah yang sering menggambarkan figur perempuan secara erotis. Pernah
timbul suatu rumusan bahwa naturalisme sebagai realisme cenderung pada
hal kemesuman. Ini didasarkan pada beberapa pelukisan mesum atas karya
Emile Zola yang dianggap sebagai pengarang naturalis terbesar. Jika ditelusuri sebenarnya roman-roman Zola isinya tidak sernuanya serba mesum.
Dalam
teater, tema-tema drama naturalis adalah tampilan kenyataan
naluri-naluri dasar yang berbahaya, seperti penyimpangan seksual,
ketamakan, kerakusan dan berbagai fenomena kelaparan dan kemiskinan yang
kompleks. Maxim Gorky dalam dramanya Lower Depth (1920) melukiskan
tokoh-tokoh yang disergap kemelaratan, hidup di gudang bawah tanah.
Mereka hanya bisa hidup dengan angan-angan dan khayalan.
Kemudian Henrik Ibsen dalam A Doll House
melukiskan penyimpangan seksual seorang istri bernama Nora. Tetapi
suaminya yang bernama Torvald justru memaafkan perbuatan istrinya yang
mencemarkan itu. Drama ini pada intinya menggambarkan
pertarungan antara kebenaran melawan hipokrisi. Para tokoh realisme
abad ke IX menurut Ernst Cassirer, memiliki wawasan yang lebih cermat
mengenai proses seni bila dibandingkan dengan lawan-lawan mereka, para
tokoh romantikisme. Mereka meyakini naturalisme yang radikal dan tak
kenal kompromi. Tetapi justru naturalisme inilah yang membuat mereka
memiliki konsepsi mendalam mengenai bentuk artistik. Mereka membuat
pelukisan-pelukisan amat detail tentang alam dan watak-watak manusia.
Terlihat juga adanya daya imajinasi yang sangat kuat, meski mereka
mundur kembali pada definisi usang bahwa seni ialah imitasi alam.
Naturalisme
dalam gerakan teater, ternyata hanya sanggup bertahan sampai tahun
1900. Setelah itu hanya realismelah yang berpengaruh. Realisme justru
makin berpengaruh karena perkembangan teknologi yang menunjangnya,
seperti diketemukannya listrik.
Realisme dan Impresionisme
Impresionisme
merupakan varian lain dari realisme. Jika drama naturalis ingin
memberikan lukisan pikiran-pikiran yang berat, kejadian-kejadian yang
menggetarkan jiwa, tidak demikianlah dengan drama impresionis. Drama
impresionis hanya berusaha melukiskan kesannya yang sepintas pada suatu
hal. Kesan tersebut tidak akan didramatisasikan secara berlebih, sebab
hal itu justru akan menghilangkan kesan penglihatan dan perasaan pada
mula pertama.
Drama
impresionis mempunyai hubungan yang implisit dengan seni rupa. Para
impresionis lebih tertarik pada pemandangan yang seolah-olah ringan dan
sepele. Claude Monet menernukan impresi dalam lukisannya berupa katedral
yang hilang dalam kekaburan pagi buta. Demikian pula impresi sebuah
jembatan dalam senja berkabut di London. Cahaya, cuaca, kabut, waktu
yang merangkak dalam hari, dan warna lokal sangat penting dalam
impresionisme. Latar depan lenyap, yang muncul adalah latar belakang.
Drama
impresionistik menawarkan konflik yang tersamar dan berupa
persoalan-persoalan yang sepele. Kecenderungan ini menjadikan karakter
tokohnya terkesan tidak mengalami perubahan watak yang jelas. Alur yang
menunjang drama ini juga tidak pernah menunjukkan eksposisi dan progresi
yang jelas serta klimaks yang menentukan. Ini sangat berbeda dengan
drama naturalis yang tokoh, alur, konflik dan persoalannya jelas. Contoh
yang cukup representatif dari kecenderungan impresionistik terdapat
pada karya Anton Chekov.
Drama-drama
Chekov diilhami dari kehidupan masyarakat Rusia jaman ia hidup.
Tokoh-tokohnya memimpikan hidup yang berguna dan berbahagia, tetapi
selalu terbentur oleh lingkungan, kepribadian dirinya dan
keinginan-keinginan tokoh lain. Kejadian-kejadian yang diciptakan Chekov
seakan-akan tak menentu arahnya, seperti karakter tokoh-tokohnya yang
juga tak menentu. Nampaknya drama-dramanya memberi kesan murung tetapi
di dalamnya banyak mengandung humor. Kemurungan dan humor muncul secara
simultan dalam drama-dramanya. Ini bisa dilihat misalnya pada The Cherry Orchad (Kebun Chery, 1904).
The Cherry Orchad
merupakan drama Chekov yang terkesan sangat impresionistik. Drama ini
berkisah tentang sekelompok tokoh yang mencoba bertahan pada makna
sebidang tanah perkebunan bangsawan. Mereka masih meyakini status
kebangsawanannya karena m»sih tinggal di sebuah tanah dengan berdirinya
tumbuhan Chery yang merupakan pohon simbol kebangsawanan di Rusia. Keberadaan
mereka dalam realita sebenarnya telah digeser oleh hadirnya orang kaya
baru dari kalangan pedagang. Kekalahan mereka akhirnya ditandai dengan
ditumbangkannya pohon Chery oleh pemilik baru dari tanah bangsawan
tersebut.
The
Moscow Art Theatre di bawah arahan sutradara Stanislavsky mementaskan
drama tersebut dengan penuh melankoli dan impresi yang mendalam. Tetapi
Chekov ketika itu meminta dengan tegas bahwa drama itu adalah komedi.
Ternyata aktor-aktor yang memerankan tokoh-tokoh dalam drama tersebut
berhasil menciptakan karakter-karakter unik yang menggelikan, tokoh-tokoh yang bodoh tetapi lucu, tanpa harus kehilangan simpati mendalam atas penderitaan yang dialami tokoh-tokoh tersebut. Kombinasi
tragik-komik memang senantiasa menjadi ciri-ciri yang menonjol dalam
drama impresionistik. Begitu banyak persoalan yang ditimbulkan manusia
karena ketamakannya, kerakusan, khayalan yang merusak diri sendiri,
serta kepicikannya. Oleh karena itu yang muncul kemudian adalah sebentuk
drama kehidupan yang penuh ironi.
Realisme Sosial
Aliran
realisme tidak sepenuhnya diterima dalam abad XX Pemberontakan terhadap
realisme timbul, antara lain oleh Symbolisme, Ekspresionisme dan Teater
Epik. Konsepsi seni aliran di atas menentang realisme konvensional
secara mendesar. Kaum symbolis beranggapan bahwa intuisi meruapakan
dasar yang tepat untuk memahami realitas. Keyakinan tersebut berangkat
dari suatu anggapan bahwa kenyataan tak bisa dipahami secara logis, maka
kebenaran juga tak mungkin diungkapkan secara logis. Oleh karena itu
kenyataan harus diperlihatkan dengan simbol-simbol. Sebuah drama
symbolis cenderung bersifat samar, misterius dan membingungkan.
Sementara ekspresionisme, mendasarkan kebenaran bukan pada kenyataan-kenyataan luar seperti dalam realisme. Menurut kaum ekpresioms, kebenaran harus dicari dalam visi pribadi. Kebenaran terletak dalam jiwa, pikiran dan batin. Apa yang
dianggap seseorang benar menurut batinnya harus diekspresikan meskipun
tidak bersesuaian dengan dunia nyata di luarnya. Pandangan ini terasa
sangat subyektif, bertentangan dengan realisme yang berusaha untuk
selalu obyektif.
Sedang
teater epik, meski dipertimbangkan sebagai gaya yang memberontak
realisme, namun bentuk dramanya jika dicermati justru memperluas konsep
realisme. Pemrakarsa teater epik ialah Bertolt Brecht
(1898-1956). la mulai aktif dalam teater ketika Jerman tengah berada
dalam puncak jaman ekspresionisme. Narnun jika kita melihat beberapa
karya dramanya terlihat adanya kecenderungan menampilkan realita secara
obyektif.
Realita
yang ditampilkan oleh Brecht tidak sejalan dengan realisme
konvensional. Pandangan Brecht pada fenomena sosial tidak bisa
dipisah-kan dari sikap ideologinya sebagai penganut Marxisme. Brecht
adalah seorang pengecam kapitalisme. Seperti telah dipaparkan di atas,
realisme konvensional di antaranya tumbuh dan berkembang berkat
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat burjuasi. Sementara Brecht
sebagai seorang Marxis beranggapan bahwa kelas pekerja membutuhkan gaya
teater yang lain, yaitu yang menyampaikan pesan-pesan yang politis.
Karena pesan-pesan politisnya inilah teater Brecht bisa digolongkan ke
dalam Arealisme sosialisa. Di samping itu karena bertujuan mengajar
masyarakat untuk melihat realitas sesuai dengan pandangan yang marxistis
itu, maka teater Brecht adalah juga bersifat didaktis.
Walaupun
seorang marxis, Brecht tidaklah menulis lakon-lakon murahan. Sebagai
seorang jenius ia dapat mengatasi kegagalan-kegagalan di bidang
artistik. la kemudian tampil dengan karya-karya yang cemerlang, baik dalam bidang pemikiran, penulisan sastra lakon maupun
penyutradaraan.Karena kejeniusannya dan kemampuannya di bidang
artistik, ada yang beranggapan bahwa teater epik Brecht bukanlah
Arealisme sosialis tapi lebih tepat digolongkan sebagai Arealisme sosial
A. Ada perbedaan yang hakiki di antara ke duanya.
Realisme
Sosialis, pada awalnya muncul tahun 1932 sesudah Konferensi Partai
Komunis Uni Sovyet pada tanggal 30 Januari - 4 Februari 1932. Josep
Stalin mengadakan perombakan besar-besaran pada seluruh aspek kehidupan,
yakni perombakan dari watak proletar menuju watak sosialis. Perombakan
itu termasuk dalam aktivitas budaya dan sastra yang harus memainkan
peranan sebagai corong propaganda fase sosialis dalam segala bidang.
Sementara
itu yang disebut dengan realisme sosial sama sekali tidak ada
hubungannya dengan realisme sosialis. Pada prinsipnya realisme sosial
merupakan suatu pandangan atau suatu keyakinan pengarang yang tertuang
ke dalam prosa yang cermat, teliti, rinci, jujur dan obyektif dalam
menampilkan seluruh kejadian kehidupan, termasuk kebobrokan yang terjadi
dan dialami oleh pengarang. Dalam realisme sosial seorang pengarang
dengan sadar melakukan kritik dengan tujuan penonton menjadi kritis.
Aliran ini dikenal pula dengan sebutan realisme kritikal, suatu realisme
sosial yang mengandung kritikan sekaligus membangkitkan reaksi kritis
penonton.
Kalau
diperhatikan secara teliti, realisme sosial bukanlah bagian dari
struktur partai seperti dalam realisme sosialis. Aliran realisme sosial
hanya menyajikan sebuah penilaian terhadap kenyataan sosial, tidak
mempunyai ambisi lain kecuali menyodorkan suatu gambaran nyata yang
terjadi di tengah masyarakat. Karya seni realisme sosial lebih cenderung
sebagai gagasan pribadi yang mewakili golongan intelektual.
Munculnya
sebutan teater epik sebetulnya untuk tujuan membedakan bentuk dan teori
teateroya dengan realisme konvensional. Gaya teater epik menginginkan
terjadinyajarak antara penonton, pemain dan pentas sehingga tercipta
suasana kritis. Untuk menciptakan jarak ini, Brecht menciptakan prinsip
V-Effect (VerfremdungsefTekt), yaitu efek pengasingan atau alienasi.
Melalui efek alienasi ini baik penonton maupun pemain harus tetap
mengambil jarak kritis terhadap masalah yang disajikan pengarang
Penonton maupun pemain harus tetap sadar bahwa apa yang sedang mereka
lihat dan alami bukanlah kehidupan, melainkan teater.
Teater
Brecht bukanlah teater illusionos seperti teater realisme konvensional.
Untuk itu dalam drama Brecht tidak diternukan pola penokohan yang bisa
menimbulkan efek identifikasi. Sangat dihindari proses yang menjadikan
penonton larut pada tokoh yang ada di panggung. Pemahaman pemeranan
dalam teater epik tidaklah menuntut aktor untuk menjiwai tokoh dalam
cerita yang diperankan, seperti halnya yang dianjurkan oleh Stanislavsky
dalam realisme konvensional. Pemeran dalam teater epik hadir dengan
sadar untuk mendemontrasikan pikiran, perasaan dan hasrat, cita-cita dan
sebagainya. Walau di dalam praktek pemeranan tidaklah mudah menernukan
batas-batas yang tegas antara pelaksanaan teori Stanislavsky dan teori
Brecht, tapi ciri-ciri pemeranan Brecht cukup kentara. Dalam pemeranan
teater epik para pemain lebih banyak mempergunakan daya ungkap
gerak-gerik (gestikulasi). Pementasan sandiwara-sandiwara Brecht dan
para pengikutnya biasanya ditandai dengan pemandangan pentas yang sibuk
(sering ada nyanyian dan tarian) untuk tujuan alienasi.
Sastra
lakon Brecht juga berbeda dengan sastra lakon realisme konvensional
yang menganut faham Aristotelian. Brecht menyebut gaya lakonnya
non-Aristotelian. Peristiwa-peristiwa dalam lakon Brecht tidak secara
ketat dihubungkan oleh hukum sebab-akibat. Adegan demi adegan dalam
lakon teater epik lebih berupa tempelan-tempelan (montage) Kesatuan
lakon diciptakan dengan mengaitkan adegan satu dan yang lainya dengan
menjaga keutuhan tema. Adegan- adegan tersebut biasanya disambung dengan
suatu narasi yang dalam pertunjukan dilakukan oleh narator (pembawa
acara).
Tata-pentas, tata-busana dan tata-perlengkapan (properties)
diusahakan untuk berbeda dengan apa yang ada dalam kehidupan Sebagai
contoh, kalau dalam pementasan diperlukan perlengkapan yang dibuat dari
kotak-kotak bekas pembungkus sabun, maka perlengkapan itu dibiarkan
seperti apa adanya. Jika kotak tersebut digunakan sebagai kursi, maka
kotak tersebut tak perlu dicat. Papan-papan kotak sabun diperlihatkan
seperti apa adanya agar penonton tetap sadar bahwa itu kotak sabun yang
digunakan sebagai kursi.
Realisme
sosial Brecht tidak muncul begitu saja. Upaya mencari gaya teater yang
tidak illusionis sebagai altematif terhadap realisme konvensional telah
dilakukan orang sebelumnya. Simbolisme dan
Ekspresionisme yang dirintis oleh Stindberg dan tokoh-tokoh di Jerman
tahun 1920-an adalah bagian dari upaya itu. Meski demikian, upaya mereka
masih memberi peluang bagi keterlibatan emosional dan identifikasi
penonton terhadap tokoh-tokoh yang ada di atas pentas. Hal ini sangat
berbeda dengan gaya teater Brecht yang menginginkan terjadinya jarak
antara penonton, pemeran dan pentas, hingga penonton bisa tetap kritis.
sumber: http://posstheatron.blogspot.com/2009/05/profil-posstheatron-garut.html